Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru Pendidikan Khusus/Penulis/Asesor/Narasumber

Guru Pendidikan khusus, Penulis Buku Panduan Guru Pengembangan Komunikasi Autis, aktivis pendidikan dan pecinta literasi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mom-Shaming Pada Ibu ABK: Luka Yang Tak Terlihat, Tapi Dalam

7 April 2025   22:00 Diperbarui: 7 April 2025   21:48 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Mom-Shaming (Sumber: freepik/bearfotos)

"Kasihan anaknya begitu, pasti ibunya kurang menjaga waktu hamil."

"Itu anak nggak bisa diem ya, harusnya ibunya lebih tegas!"

Kalimat seperti itu mudah sekali dilontarkan. Namun, apakah mereka tahu jika bagi seorang ibu yang membesarkan anak berkebutuhan khusus (ABK), komentar tersebut bisa terasa seperti pisau yang mengiris hati, pelan, namun tajam dan menyakitkan.

Fenomena 'mom-shaming', atau tindakan mengkritik dan menghakimi ibu atas cara mereka mengasuh anak, semakin marak terjadi, baik secara langsung maupun di media sosial. 

Dan bagi ibu ABK, beban itu bisa berlipat ganda. Tak hanya harus menghadapi tantangan dalam mendampingi anaknya, mereka juga dihadapkan pada stigma, cibiran, dan ekspektasi yang tidak realistis dari lingkungan.

Mom-Shaming: Bentuk Kekerasan Psikologis yang Sering Diabaikan

Menurut Dr. Jessalyn Neuhaus, seorang profesor kajian gender dan pengasuhan dari University of Nevada, mom-shaming adalah bagian dari tekanan sosial terhadap standar ibu "ideal" yang kerap tidak realistis dan sangat merugikan perempuan, terutama ibu dari anak-anak dengan kondisi khusus.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Zero to Three (2021) menyebutkan bahwa 6 dari 10 ibu mengaku pernah mengalami mom-shaming, dengan salah satu bentuk paling umum adalah komentar negatif tentang perilaku anak atau gaya pengasuhan. 

Sayangnya, ketika anak yang diasuh adalah ABK, komentar itu sering kali tidak disertai empati.

Ibu ABK: Mengasuh Sambil Bertahan dari Stigma

Dalam wawancara dengan seorang ibu ABK, sebut saja Ibu Dini (35), ia menceritakan bagaimana tekanan sosial justru lebih menyakitkan ketimbang tantangan pengasuhan anaknya yang didiagnosis autisme.

"Saya sudah terima kondisi anak saya. Tapi orang lain belum tentu. Bahkan keluarga sendiri suka bilang saya kurang tegas, kurang doa, atau kurang usaha," tuturnya.

Padahal, menurut Dr. Sheila Wijaya, psikolog anak dan keluarga dari UI, mengasuh ABK memerlukan pendekatan holistik, melibatkan regulasi emosi, intervensi terapeutik, dan stabilitas dukungan dari lingkungan sekitar.

"Ibu ABK seharusnya jadi bagian dari sistem dukungan, bukan jadi sasaran penghakiman. Mom-shaming adalah bentuk kekerasan psikologis terselubung," ungkapnya.

Lingkungan Kurang Literasi, Ibu Jadi Korban

Faktor utama dari tingginya mom-shaming terhadap ibu ABK adalah kurangnya literasi publik tentang kebutuhan khusus dan kurangnya empati sosial.

Masyarakat masih banyak yang menganggap perilaku berbeda sebagai hasil dari "kesalahan" pola asuh, bukan sebagai bagian dari spektrum kondisi neurodivergen. 

Akibatnya, ibu ABK rentan mendapatkan label seperti "tidak becus," "malas mendidik," atau "terlalu memanjakan."

Perlu Ruang Aman dan Narasi Positif

Sudah saatnya ibu ABK mendapatkan ruang aman, bukan sekadar ruang sunyi. Komunitas orang tua, pendampingan psikologis, dan penguatan literasi publik menjadi penting untuk menghapus stigma.

Membangun narasi positif, seperti melalui media, edukasi sekolah, hingga kampanye sosial digital, bisa menjadi cara untuk menyeimbangkan informasi yang keliru dan menumbuhkan empati publik.

Jangan Hakimi, Tapi Peluklah!

Mengasuh anak adalah perjalanan yang tidak mudah bagi siapapun, terlebih jika anak memiliki kebutuhan khusus. Alih-alih menjadi hakim atas perjuangan mereka, jadilah pelukan yang memberi ruang aman.

Karena luka dari mom-shaming tak selalu terlihat di luar, tapi bisa menghancurkan ketahanan ibu dari dalam. Jadi mulai saat ini, mari lebih bijak berkomentar

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun