Dalam wawancara dengan seorang ibu ABK, sebut saja Ibu Dini (35), ia menceritakan bagaimana tekanan sosial justru lebih menyakitkan ketimbang tantangan pengasuhan anaknya yang didiagnosis autisme.
"Saya sudah terima kondisi anak saya. Tapi orang lain belum tentu. Bahkan keluarga sendiri suka bilang saya kurang tegas, kurang doa, atau kurang usaha," tuturnya.
Padahal, menurut Dr. Sheila Wijaya, psikolog anak dan keluarga dari UI, mengasuh ABK memerlukan pendekatan holistik, melibatkan regulasi emosi, intervensi terapeutik, dan stabilitas dukungan dari lingkungan sekitar.
"Ibu ABK seharusnya jadi bagian dari sistem dukungan, bukan jadi sasaran penghakiman. Mom-shaming adalah bentuk kekerasan psikologis terselubung," ungkapnya.
Lingkungan Kurang Literasi, Ibu Jadi Korban
Faktor utama dari tingginya mom-shaming terhadap ibu ABK adalah kurangnya literasi publik tentang kebutuhan khusus dan kurangnya empati sosial.
Masyarakat masih banyak yang menganggap perilaku berbeda sebagai hasil dari "kesalahan" pola asuh, bukan sebagai bagian dari spektrum kondisi neurodivergen.Â
Akibatnya, ibu ABK rentan mendapatkan label seperti "tidak becus," "malas mendidik," atau "terlalu memanjakan."
Perlu Ruang Aman dan Narasi Positif
Sudah saatnya ibu ABK mendapatkan ruang aman, bukan sekadar ruang sunyi. Komunitas orang tua, pendampingan psikologis, dan penguatan literasi publik menjadi penting untuk menghapus stigma.
Membangun narasi positif, seperti melalui media, edukasi sekolah, hingga kampanye sosial digital, bisa menjadi cara untuk menyeimbangkan informasi yang keliru dan menumbuhkan empati publik.