Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru Pendidikan Khusus/Penulis/Asesor/Narasumber

Guru Pendidikan khusus, Penulis Buku Panduan Guru Pengembangan Komunikasi Autis, aktivis pendidikan dan pecinta literasi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mom-Shaming Pada Ibu ABK: Luka Yang Tak Terlihat, Tapi Dalam

7 April 2025   22:00 Diperbarui: 7 April 2025   21:48 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Mom-Shaming (Sumber: freepik/bearfotos)

Dalam wawancara dengan seorang ibu ABK, sebut saja Ibu Dini (35), ia menceritakan bagaimana tekanan sosial justru lebih menyakitkan ketimbang tantangan pengasuhan anaknya yang didiagnosis autisme.

"Saya sudah terima kondisi anak saya. Tapi orang lain belum tentu. Bahkan keluarga sendiri suka bilang saya kurang tegas, kurang doa, atau kurang usaha," tuturnya.

Padahal, menurut Dr. Sheila Wijaya, psikolog anak dan keluarga dari UI, mengasuh ABK memerlukan pendekatan holistik, melibatkan regulasi emosi, intervensi terapeutik, dan stabilitas dukungan dari lingkungan sekitar.

"Ibu ABK seharusnya jadi bagian dari sistem dukungan, bukan jadi sasaran penghakiman. Mom-shaming adalah bentuk kekerasan psikologis terselubung," ungkapnya.

Lingkungan Kurang Literasi, Ibu Jadi Korban

Faktor utama dari tingginya mom-shaming terhadap ibu ABK adalah kurangnya literasi publik tentang kebutuhan khusus dan kurangnya empati sosial.

Masyarakat masih banyak yang menganggap perilaku berbeda sebagai hasil dari "kesalahan" pola asuh, bukan sebagai bagian dari spektrum kondisi neurodivergen. 

Akibatnya, ibu ABK rentan mendapatkan label seperti "tidak becus," "malas mendidik," atau "terlalu memanjakan."

Perlu Ruang Aman dan Narasi Positif

Sudah saatnya ibu ABK mendapatkan ruang aman, bukan sekadar ruang sunyi. Komunitas orang tua, pendampingan psikologis, dan penguatan literasi publik menjadi penting untuk menghapus stigma.

Membangun narasi positif, seperti melalui media, edukasi sekolah, hingga kampanye sosial digital, bisa menjadi cara untuk menyeimbangkan informasi yang keliru dan menumbuhkan empati publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun