Mohon tunggu...
Nastiti Cahyono
Nastiti Cahyono Mohon Tunggu... Editor - karyawan swasta

suka menulis dan fotografi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hijrah dan Eksistensi Kita

21 Agustus 2020   11:47 Diperbarui: 21 Agustus 2020   11:48 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada era kini, gawai seakan tak lepas dari kehidupan kita, sejak kita bangun tidur sampai kita akan tidur. Gawai adalah sarana yang paling nyata untuk mengubungkan seseorang dengan orang lain, bukan sekadar untuk mengirimkan pesan,berbicara atau mengirim email.

Lebih luas dari itu jika kita bicara soal gawai maka akan terkait dengan media sosial. Aneka platform bisa diunduh dalam sebuah gawai; mulai dari whatapps, line, facebook, twitter, instagram dan youtube. Dalam perkembangannya anek platform punya segmen sendiri-sendiri. 

FB misalnya. Umumnya FB disukai oleh kau senior (kaum yang masuk pada generasi baby bommers, dan generasi X)sedangkan kaum millenials lebih menyukai instagram dan line serta twitter sebagai media sosial tempat mengapresikan sikap mereka.

Hal penting yang masuk dalam semua platform yang disukai oleh semua generasi itu adalah soal eksistensi diri. Bahwa semua platform akan menunjukkan banyak hal dari pemiliknya; semakin banyak dan semakin sering dia mengunggah sesuatu di media sosial maka dia semakin eksis. Namun semakin jarang dia mengekspos soal dirinya maka dia tak lebih dari seorang yang kurang populer.

Singkat kata media sosial merupakan etalase bagi seseorang bagi orang lain untuk membagikan gambaran soal dirinya.  Biasanya dengan membagikan gambaran soal dirinya, beberapa orang akan bereksi, entah hanya sekadar like atau berkomentar. 

Semakin banyak like atau komentar positif, seseorang yang mengunggah itu akan menemukan sensasinya sendiri; entah rasa senang dan puas atau bila orang berkomentar negative maka sensasinya akan berbalikan.

Keeksistensian diri yang sering diperlihatkan adalah prestasi, keluarga dan kini menjadi tren adalah soal ibadah dan pernik-perniknya. Semisal dalam foto di media sosial seseorang yang biasanya tidak berhijab kini berhijab dan kemudian banyak orang memberikan like dan kemudian komentar positif semisal 'keren, sudah berhijrah', atau 'ini hijrah yang tepat' dan aneka komentar lainnya. Yang bersangkutan akan merasa senang.

Banyak orang sadar atau tidak, jika seseorang terlalu focus pada hijrah yang bersifat eksistensial seperti contoh di atas, sejatinya memiliki dampak negative terhadap relasi sosial. 

Faktanya, kebanyakan orang yang berhijrah, mengalami keretakan hubungan sosial dengan teman atau kawan lamanya yang belum berhijrah. Hal ini dikarenakan konstruksi berfikir hijrah yang menekankan pada aspek eksistensial sebagaimana yang dijelaskan di atas, serta cenderung membuat dikotomi antara "aku yang sudah berhijrah" dan "mereka yang belum berhijrah".

Padahal esensi hijrah lebih luas dan lebih dalam dari itu. Hijrah yang identik pada pindah dalam kosakata umum, dalam konsep agama adalah hal dari sesuatu yang buruk menuju yang baik, termasuk hubungan yang lebih baik dengan Sang Pencipta dan bukan hanya sekadar mejeng di media sosial dan berharap komen positif dan ratusan like. Dan ini bisa soal apa saja; pekerjaan, agama , pendidikan dll.

Karena itu hijrahlah dengan benar. Jika berubah, berubahlah ke arah yang lebih baik dan tidak hanya sekadar mengejar eksistensi diri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun