Mesin ketik kuno itu masih terpajang rapi di meja di sudut kamar sang penulis. Meski kini sudah ada laptop, tab, dan komputer PC, tapi mesin tik itu masih dibiarkannya di sana. Diperlakukannya sebagai barang pusaka dan bersejarah.
Mesin ketik itu dibelinya di pasar loak. Maka tombol-tombol hurufnya sudah banyak yang tak kelihatan. Terpaksa ditempelnya dengan tulisan di kertas dan direkatkannya dengan solasi supaya bisa terbaca.
Mesin ketik itu mengingatkannya akan arti sebuah perjuangan. Mengingatkannya ketika ia memulai menulis cerita pendek, resensi karya sastra dan puisi ke berbagai surat kabar dan majalah. Dikirimnya karya-karya itu lewat surat berperangko, sebab belum ada surat elektronik seperti sekarang.
Untuk mengecek apakah karyanya dimuat atau tidak, sang penulis pergi ke lapak beberapa penjual koran di pasar tak seberapa jauh dari rumah kos-kosannya. Ia pura-pura hendak membeli koran tetapi ada beberapa koran yang dilihatnya. Muka masam sang penjual koran dan kadang kata-kata tak enak diterimanya karena ia hanya melihat koran-koran itu dan kalaau tak ada tulisannya yang dimuat ia tak jadi membelinya. Maklum uang honor yang diterimanya juga pas-pasan.
Tak ada yang lebih membuatnya gembira ketika diintipnya rubrik sastra di sebuah koran dan karyanya dimuat. Ia tinggal menunggu seminggu kemudian dan tibalah wesel pos yang kemudian diuangkannya di Kantor Pos. Tak banyak memang honor yang diterimanya. Tapi itu cukup untuk membayar utangnya di warung makan langganannya di ujung gang rumah kos-kosannya.
Kini masa itu sudah berlalu. Kemajuan teknologi memudahkan segalanya. Kirim karya secepat kilat lewat surat elektronik. Bisa mengirim beberapa karya sekaligus ke berbagai media. Bisa dari rumah saja. Honornya pun sangat lumayan. Sang penulispun jadi terkenal. Kerap diundaang ke berbagai forum sastra.
Namun mesin ketik kuno itu selalu mengingatkan sang penulis agar tak lupa sejarah hidupnya. Jika suatu ketika di usia tuanya nanti ia tak lagi produktif dan kembali hidup pas-pasan maka itu tak akan menghilangkan semangat hidupnya dan rasa syukurnya. Sebab dulu ia pernah mengalaminya.