Mohon tunggu...
Nugraha Wasistha
Nugraha Wasistha Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penggemar bacaan dan tontonan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Membaca Konspirasi Sambil Minum Kopi

20 April 2021   03:09 Diperbarui: 26 April 2021   07:24 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dikutip dari Pxhere

Siapa sih jaman sekarang yang tidak pernah mendengar teori konspirasi. Malah tak sedikit yang menganggapnya teori yang seksi, mencerdaskan dan mencerahkan. Secara instan pula. Cukup sekali baca teori itu, kita akan menganggap fisikawan, astronom, sejarawan, arkeolog, maupun epidemiolog adalah kaum kolot yang ketinggalan jaman.

Tidak usah jauh-jauh. Belakangan banyak kita-kita yang percaya bumi itu datar, walau ilmuwan besar muslim terdahulu seperti Al Biruni dan Al Khawarizmi justru mengatakan bulat. Tidak sedikit pula yang meyakini bahwa covid-19 itu cuma prank, walau penebar isunya adalah orang-orang seperti Bill Mitchell - yang suka menjelekkan kaum muslim. Tak sedikit pula yang percaya bahwa negara-negara besar cuma pura-pura berseteru sambil proksi-proksi senjata, walau Pak Hikmahanto Juwana perasaan tidak pernah bicara seperti itu.

Tapi kita tidak perlu rendah diri. Amerika saja tidak lebih baik. Bahkan bisa jadi lebih parah. Januari kemarin, ribuan orang menyerbu gedung Capitol karena percaya Biden mencurangi pemilu dengan alat canggih pesanan Hugo Chaves. 

Bulan Februari lalu seorang programer meledakkan diri dalam mobilnya karena percaya Amerika sudah dikuasai manusia kadal. Dan Maret lalu banyak serangan terhadap warga keturunan Asia - termasuk dari Indonesia - karena dianggap pihak yang menyebarkan virus Corona.

Sebenarnya konspirasi bukanlah teori baru. Dari dulu sudah banyak buku-yang membahas berbagai variasinya. Dari kepanjangan nama band rock AC/DC, sepak bola adalah senjata psikologis untuk melemahkan bangsa non-barat, sampai Rockefeller adalah dalang segala bencana (Bill Gates masih berupa cairan saat itu). Tapi dulu teori-teori ini belum populer. Setelah jaman medsos dan WAG, barulah varian terbarunya bisa masuk ke kamar semua orang.

Kalau diperhatikan, ada persamaan latar belakang mereka yang dirasuk teori konspirasi ini. Rata-rata berpendidikan, tapi wawasannya terbatas pada bidang yang mereka tekuni. Ini sesuatu yang wajar sebenarnya. 

Coba, berapa banyak di antara kita yang tidak kuliah di HI tapi hobi baca buku geopolitik. Atau, berapa banyak orang yang tidak kerja di lab tapi keranjingan baca buku biologi molekuler. Kalau pun ada, biasanya akan dianggap kurang kerjaan. Atau bahkan stress. Iya kan?

Dengan kondisi demikian, pada saat kebanjiran teori konspirasi, tak ada referensi apapun di kepala yang bertindak sebagai sekering. Tak ada pembanding yang akan membuat kita spontan bilang, "Ah, ngaco!" saat membacanya. Dengan unsur manipulatif yang kuat, siapapun yang menyimak teori ini pasti berseru, "omaigat-omaigat-omaigaaatt...tunggu sampe temen-temen di grup baca ini!"

Contoh paling baik tentu saja adalah mantan presiden Trump. Di satu sisi dia adalah pengusaha papan atas - jika kita mau melupakan laporan IRS atau investigasi New York Times. Tapi ternyata wawasannya cuma papan bawah. Buktinya, dia bilang bahwa George Washington (yang hidup jaman orang masih naik kuda) pernah merebut bandar udara. Dia juga bilang bahwa perang dunia II berakhir gara-gara semua tentara menggigil kena wabah.

Dengan wawasan amburadul seperti ini, tidak heran dia ternyata juga penggemar teori konspirasi. Dari awal dia percaya korona adalah akal-akalan demokrat, menghina siapapun yang memakai masker, dan meremehkan rekomendasi epidemiolog. Bahkan setelah Amerika sukses jadi negara dengan angka kematian tertinggi di dunia, dia tetap saja ngeyel ini-itu.

Oiya, mungkin juga bisa ditambahkan Marjorie Taylor Greene. Dia adalah anggota dewan terpilih - yang juga mempercayai berbagai teori konspirasi. Baru-baru ini, saat berpidato menentang bantuan AS untuk negara asing, dia menyebut Guam sebagai contoh negara asing yang dimaksud. Tentu saja ini membuat guru ilmu bumi ketawa. Kenapa? Karena Guam itu bukan negara, melainkan wilayah AS sendiri!

Jadi bagaimana biar kita tidak seperti mereka? Susah sih. Kalau mereka tidak mampu, bagaimana kita. Tapi kalau menurut saya, caranya ya terus menambah daftar pustaka. Boleh saja membaca teori konspirasi, tapi imbangi dengan buku-buku yang lebih mainstream. Lama-lama kita juga sadar bahwa teori itu menggelikan. Samalah seperti jika membiasakan diri menonton filmnya Garin Nugroho. Sekali terbiasa, lama-lama pasti nyengir kalau nonton sinetron apapun. Termasuk yang judulnya pakai diikat-ikat itu.

Mana ada waktu buat baca buku-buku seberat itu? Lho, bukankah kita biasa berjam-jam baca 'info-info valid' di WAG sambil minum kopi? Kan mending baca buku-buku sains dan geopolitik terbitan Kompas-Gramedia. Tetap sambil minum kopi tentunya. Hehehe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun