Mohon tunggu...
Nugraha Wasistha
Nugraha Wasistha Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penggemar bacaan dan tontonan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kilas-Balik Trump-Pence: Perpecahan yang Nyaris Berakhir dengan Pembunuhan

20 Februari 2021   21:03 Diperbarui: 9 Maret 2021   19:14 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dikutip dari Irishtimes

Peristiwa politik kadang sama menariknya dengan epik pewayangan atau bahkan film thriller. Dan hubungan antara Presiden (waktu itu) Donald Trump dan wakilnya Mike Pence bisa dimasukkan ke dalam kategori itu.

Ibarat cerita Ramayana, Mike Pence bisa disamakan dengan Wibisana. Adik dari raja raksasa Rahwana yang selalu setia pada sang kakak, sampai ketika kesetiaan itu harus berhadapan dengan sebuah prinsip moralitas.

Seperti Wibisana, Mike Pence adalah sosok yang jauh dari ego. Dia tak ada keinginan mencari panggung. Tak mau menonjolkan diri. Hanya berusaha jadi pendamping setia buat si angin topan Donald Trump. Bahkan saat mereka belum resmi meraih kekuasaan.

Saat kampanye di tahun 2016, Pence menjadi bemper sekaligus katalis bagi serangkaian skandal yang menimpa Donald Trump. Mulai dari ucapannya yang melecehkan perempuan sampai soal suap artis porno yang dikencani Trump. Kredibilitas Pence selalu berhasil mencegah merosotnya elektabilitas Trump di mata kaum konservatif - yang merupakan basis massa Republikan.

Selama menjadi wapres, Pence menjalankan peran yang sama buat POTUS - Presiden Of The United State. Pada kalangan pers, dia selalu membela ucapan/tindakan sang presiden. 


Di hadapan staf, Pence selalu menjaga ucapannya soal Trump. Dia memberi tips cara mengkomunikasikan hal sensitif tanpa membuat presiden tersinggung.

Pernah pada satu kesempatan, Pence bicara soal 'bahu Trump yang bidang' sampai 17 kali - untuk menggambarkan ketegarannya. Saat sidang kabinet tahun 2017, Pence memuji Trump sebanyak 14 kali dalam waktu kurang dari 3 menit, dan menyanjung tiap 12,5 detik.

Saat sidang dengan Federal Emergency Management Agency, Trump menaruh botol minumannya di lantai. Tidak ingin terlihat egois, Pence melakukan hal yang sama detik itu juga. Begitulah loyalitas tanpa batas yang diperlihatkan Pence.

Sampai pemilu mengubah segalanya.

Perubahan itu dimulai tanggal 15 Desember. Ketika itu Trump sedang kehabisan akal untuk membatalkan hasil pemilu. Mahkamah Agung menolak segala klaimnya, padahal didominasi oleh hakim konservatif. Jaksa Agung William Barr, yang disuruhnya mencari alasan memperkarakan Biden, malah mundur.

Saat itulah Trump mendapat masukan yang menarik dari orang-orangnya - seperti pengacara Rudy Giuliani dan Sidney Powell, penasehat perdagangan Peter Navarro, dan kepala staf kepresidenan Mark Meadows.

Mereka mengutip pandangan seorang profesor ilmu hukum bernama John Eastman, dari Chapman University. Bahwa seorang wakil presiden berhak menolak surat suara - berdasar sebuah peristiwa yang terjadi 220 tahun lalu, tepatnya tahun 1801, ketika wapres Thomas Jefferson menyatakan sebagian surat suara tidak sah.

Mendapat desakan untuk melakukan hal yang sama, Pence tidak segera mengiyakan. Dia melakukan konsultasi dengan pakar hukum yang lebih senior. Seperti Yoo dari Universitas Berkeley, dan juga mantan jaksa J. Michael Luttig yang sangat dihormati kaum konservatif.

Kesimpulannya jelas. Dia tidak punya wewenang membatalkan hasil pemilu. Apa yang terjadi ratusan tahun yang lalu tentu tidak bisa diterapkan sekarang.

Pence menjelaskan hal itu kepada Trump. Dia tidak bisa melakukan keinginannya. Dan tanggapan yang dia terima lebih menyerupai ancaman. "Kau harus berani Mike. Akan sangat buruk buat negara dan dirimu sendiri jika kau tidak mau."

Pence tidak bergeming. Seperti Wibisana yang akhirnya mengatakan 'tidak' pada nafsu berkuasa Rahwana. Baginya ada batas yang tidak bisa dilanggar. Dia tetap menyatakan akan mematuhi konstitusi dan menerima pengesahan kemenangan Joe Biden di Capitol Hill pada tanggal 6 Januari.

Dan Trump mulai membuktikan ancamannya.

Sebelum subuh tanggal 6 Januari, Trump menulis di akun twitternya. Menyatakan pada pendukungnya, bahwa Pence tinggal mengirimkan surat suara kembali ke negara bagian, dan mereka bisa mendapatkan kemenangan. Dengan kata lain, secara tersirat, dia mengatakan bahwa Pence adalah penyebab kekalahannya.

Dan pagi harinya, Trump memberikan ultimatum terakhirnya pada Pence. "Kau bisa tercatat di sejarah sebagai patriot sejati atau sebagai seorang banci!"

Pence tetap tidak bergeming.

Tiba di Gedung Capitol, menempati posisinya di ruang senat pada jam satu siang, Pence membuat pernyataan. "Berdasar pertimbangan bahwa saya disumpah untuk menjunjung konstitusi, maka hal itu mencegah saya mengambil otoritas untuk menilai surat suara mana yang seharusnya dihitung."

Sebelumnya, saat Pence baru bergerak ke Capitol, Trump tampil di depan massa pendukungnya. Di situ dia sampai 13 kali menyebut Pence, menyatakan bahwa kemenangan sudah pasti di tangan jika wakilnya mau bertindak. Seolah dia ingin memastikan bahwa kemarahan pendukungnya terpusat pada Pence.

"Aku sudah bilang pada Mike, tindakan itu malah tidak butuh nyali. Yang butuh nyali itu kalau tidak bertindak apapun. Dan jika dia tidak melakukannya, itu akan menjadi saat menyedihkan buat negara kita."

Dan akibatnya adalah sesuatu yang menyerupai film horror The Purge.

Saat Trump selesai berbicara, ujung tombak kelompok massa itu sudah menembus barikade polisi di sebelah barat gedung Capitol. Lewat pukul dua siang, massa yang dipimpin organisasi radikal Proud Boys mendobrak pintu dan jendela. Sambil berkali-kali meneriakkan, "Gantung Mike Pence!"

Mereka menyerbu masuk dan menjelajahi seluruh koridor, sambil terus berteriak-teriak mencari Mike Pence. Sebagian membawa tali gantungan yang ditandai dengan namanya. Sang wapres sendiri saat itu berada di kantor yang hanya berjarak 100 kaki dari mereka. Dia diselamatkan seorang petugas polisi yang berhasil memancing massa ke arah yang berlawanan.

"Saya mendengar paling sedikit tiga perusuh berkata bahwa mereka ingin menggantung Mike sebagai seorang pengkhianat," kata Jim Bourg dari kantor berita Reuter. "Itu adalah kata-kata yang selalu mereka ulangi. Sebagian lain hanya berbicara tentang bagaimana sebaiknya mengeksekusi sang wapres."

Selama penyerbuan itu Pence menolak diungsikan. Dia bertahan di basemen, bersama anak dan istrinya. Dari sana dia melakukan kontak dengan semua pihak. Dari menteri pertahanan, kepala staf gabungan, dan anggota dewan, guna menerjunkan pasukan garda nasional. Hanya satu orang yang tidak dia kontak. Donald Trump.

Pada jam setengah empat pagi keesokan harinya, Pence mengafirmasi kemenangan Joe Biden. Lima orang meninggal akibat penyerbuan tersebut, termasuk satu petugas kepolisian. 140 petugas mengalami luka-luka.

Selama penyerbuan itu, Trump sama sekali tidak berusaha mencari tahu nasib wakil presidennya. Menelponnya juga tidak. Menurut senator Ben Sasse, yang mendengar dari staf Gedung Putih, Trump menonton penyerbuan itu dengan 'girang' dan 'suka-cita'.

(disarikan dari The Guardian, Washington Post, dan New York Times)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun