Wajahmu merekah seperti fajar,
cahaya menembus kabut malamku,
menyapu lelah, menenangkan gelisah,
aku tersenyum, meski dunia masih setengah tidur.
Gurat di hatimu teguh seperti batang pohon tua,
akar menyelusup diam-diam ke tanah hatiku,
tiada goyah meski angin gelisah berhembus,
aku belajar berdiri, menatap dunia bersamamu.
Mentari pagi memantul di matamu,
kilau yang menuntun langkahku,
setiap tarikan napas menjadi doa,
aku hadir penuh, di sini, bersamamu.
Embun menempel di daun, seperti kata yang tak terucap,
lembut, menyejukkan, membasahi setiap harap,
aku menatap pagi, menatapmu,
dan bahagia menjadi satu dengan hari.
Cahaya menyusup di sela rambutmu,
membingkai wajahmu dengan emas halus,
aku terdiam, terpesona oleh keteguhanmu,
seperti batu yang tak tergeser arus sungai.
Burung-burung bernyanyi di langit jingga,
mengiringi langkah kita yang pelan tapi pasti,
aku belajar berjalan bersamamu,
dalam kesederhanaan, dalam cahaya pagi.
Kopi mengepul, harum di udara,
tapi lebih harum senyummu yang menenangkan,
aku merasakan pagi yang baru,
pagi yang hanya mungkin hadir bersamamu.
Awan melintas perlahan, menutupi mentari,
namun wajahmu tetap terang,
seperti bintang yang tak tergantung cahaya luar,
aku belajar melihat terang dari dalam dirimu.
Jalan setapak menunggu langkah kaki kita,
setiap batu, setiap embun, setiap bayangan,
aku senang menapaki pagi ini bersamamu,
karena kau hadir, dan aku utuh.
 Dan ketika fajar menjadi siang,