Â
Ada yang mengatakan: cinta itu seperti aliran sungai. Ia mengalir ke muara, meskipun di tengah jalan bisa terhalang batu, pohon tumbang, atau bendungan buatan manusia. Tapi sungai tidak pernah benar-benar berhenti. Ia bisa menyusup, merembes, mencari jalan lain. Hanya saja, tidak selalu sampai ke samudera yang sama.
Aku pernah mengenal seorang perempuan. Dia bukan sekadar "kekasih", dia adalah semacam denting yang membuat hidupku berirama. Tapi sejak awal, kami tahu: perjalanan kami bukan jalan mulus. Ada pagar berduri yang dipasang bukan oleh kami, melainkan oleh orang-orang yang merasa lebih tahu tentang kebahagiaan anaknya.
Aku hanyalah anak petani. Ayahku berangkat ke sawah pagi buta, pulang sore hari dengan bau tanah yang menempel di kulitnya. Ibuku menanak nasi dengan kayu bakar, kadang masih harus berutang beras ke warung tetangga. Sementara dia lahir dari keluarga yang toko hasil buminya di pasar induk tidak pernah sepi. Orang tuanya menatapku dengan mata yang dingin, seolah aku datang membawa airmata, bukan cinta.
Mereka bilang: "Untuk apa sekolah tinggi-tinggi? Pada akhirnya, yang penting bisa dagang, bisa hitung untung rugi." Maka pacarku---perempuan itu---diputus sekolahnya setelah SMP. Ia disuruh membantu menjaga toko. Sementara aku bersikeras melanjutkan SMA, meski harus menempuh jalan kaki jauh, meski harus meminjam buku bekas dari kakak kelas. Bagiku, sekolah adalah cara menyibak kabut. Aku ingin tahu dunia, tidak hanya hitungan karung bawang dan harga cabai yang naik turun.
Tapi cinta, pada usia itu, terasa lebih besar daripada segala hal. Kami pacaran diam-diam, sembunyi-sembunyi. Back street, kata anak-anak sekarang. Bertemu di gang sempit, berbagi cerita sambil duduk di bawah pohon jambu. Sesekali berbalas surat kecil yang diselipkan di buku. Rasanya seperti melawan dunia.
Dua tahun kami bertahan. Dua tahun yang penuh detak jantung yang tidak pernah tenang. Aku tahu ia kelelahan menjaga toko, menata timbangan, membungkus hasil bumi dengan senyum yang tidak sepenuhnya miliknya. Ia ingin sekolah, tapi suaranya dipotong di meja makan. Aku ingin membawanya keluar dari situ, tapi tanganku terlalu ringkih.
Sampai akhirnya aku menyerah. Aku harus merantau ke kota lain. Aku tidak bisa mengikat seseorang pada janji yang mungkin hanya tinggal kata-kata. Aku mengikhlaskan dia. Itu kata yang sederhana, tapi sebenarnya paling berat diucapkan: ikhlas.
Hari-hari setelah itu seperti ruang kosong. Aku bekerja, aku belajar lagi, aku menata hidup pelan-pelan. Tapi setiap kali pulang ke kota kecilku, ada kemungkinan aku akan bertemu dengannya. Entah di pasar, entah di jalan raya. Dan setiap kali itu terjadi, hatiku berguncang. Ia sudah menikah, dengan pilihan yang direstui orang tuanya. Tapi ada getaran yang tidak pernah bisa dibohongi. Cinta memang tidak selalu bisa dipindahkan begitu saja, seperti memindahkan karung beras dari gudang ke mobil.
Kadang aku berpikir: apa arti dari sebuah "calon mertua ketus"? Apakah itu sekadar orang tua yang khawatir anaknya akan jatuh miskin? Ataukah sebenarnya cermin dari masyarakat kita yang selalu menimbang kebahagiaan dengan ukuran harta?
Aku tak ingin menyalahkan siapa pun. Mungkin orang tuanya benar: siapa yang mau hidup susah? Siapa yang mau anaknya menanggung lapar di dapur? Dalam hitungan mereka, aku hanya membawa cinta, tapi tidak membawa jaminan. Dan cinta, dalam matematika mereka, tidak masuk neraca laba-rugi.
Tapi bukankah cinta juga sejenis kekayaan? Kekayaan yang tidak bisa dijual di pasar induk, tidak bisa ditukar dengan kurs dolar, tapi membuat hidup terasa bernilai?
Aku ingat, pernah suatu kali aku melihat ayahku pulang dengan tangan kosong. Hujan semalam merusak padi, hama menyerang ladang. Tidak ada hasil yang bisa dijual. Tapi ibuku tetap menyambutnya dengan senyum. "Tak apa," katanya, "kita masih bisa makan singkong rebus." Malam itu kami duduk di dapur, makan singkong, dan anehnya aku merasa hangat. Bukankah itu juga cinta?
Mungkin itu sebabnya aku tetap berani mencintai meski tahu dinding di depan terlalu tinggi.
Hari ini, aku sudah jauh dari masa itu. Tapi kenangan tidak pernah benar-benar habis. Ia datang tiba-tiba, seperti aroma tanah basah setelah hujan.
Aku tidak tahu bagaimana perasaannya kini. Aku tidak tahu apakah ia bahagia dengan pernikahannya. Aku hanya tahu: setiap kali berpapasan, ada sekilas cahaya di matanya. Seperti sehelai daun yang jatuh dari pohon: kecil, tapi cukup untuk menimbulkan riak di air tenang.
Apakah aku menyesal? Tidak sepenuhnya. Kalau aku menyesal, berarti aku ingin kembali ke masa lalu. Padahal masa lalu bukanlah rumah, ia hanya lorong tempat kita pernah berjalan. Kita bisa menoleh, tapi tidak bisa tinggal di sana.
Namun aku juga tahu: ada luka yang tidak bisa sembuh sempurna. Luka itu bukan karena kehilangan dia, tapi karena menyadari bahwa cinta bisa dikalahkan oleh status sosial, oleh restu yang tidak pernah datang.
"Kalau dapat calon mertua ketus, lanjutin atau tinggalin?"
Pertanyaan itu mungkin sederhana, tapi jawabannya rumit. Aku memilih meninggalkan, karena aku ingin menjaga diriku sendiri. Aku tahu, jika aku memaksa, aku akan hidup dengan dinding yang selalu menekan. Aku mungkin bisa menikahinya, tapi mungkin selamanya aku hanya dianggap "orang luar" di keluarganya.
Tapi ada juga yang memilih bertahan, melawan arus, menantang restu. Sebagian berhasil membuktikan bahwa cinta bisa lebih kuat dari segalanya. Sebagian lain hancur di tengah jalan.
Tidak ada resep pasti. Yang ada hanya pilihan. Dan setiap pilihan punya harga.
Kini, setelah waktu berjalan, aku belajar sesuatu:
Bahwa orang tua tidak selalu salah. Mereka hanya melihat dari kacamata mereka. Mereka pernah hidup, mereka pernah gagal, mereka pernah lapar. Mereka ingin anaknya selamat, meski dengan cara yang kasar.
Bahwa cinta tidak selalu harus memiliki. Kadang cinta cukup dengan mengetahui bahwa kita pernah membuat seseorang tersenyum.
Bahwa ikhlas itu bukan berarti lupa. Ikhlas itu berarti bisa berjalan meski ingatan tetap menempel.
Dan yang paling penting: bahwa aku tidak kalah. Aku tidak menikahi dia, tapi aku tidak kalah. Karena aku tetap berdiri, tetap bekerja, tetap mencintai hidup.
Suatu hari aku mendengar kabar: toko keluarganya tidak seramai dulu. Persaingan pasar, perubahan zaman, membuat bisnis itu goyah. Anak-anak mereka pun akhirnya harus bekerja di kota, belajar hal-hal yang dulu mereka remehkan.
Aku hanya bisa tersenyum. Hidup memang penuh ironi. Yang dulu dianggap "tidak berguna" justru menjadi jalan bertahan. Yang dulu dianggap "tidak layak" ternyata bisa lebih tangguh.
Tapi aku tidak ingin merasa menang. Karena cinta bukanlah pertandingan. Ia hanyalah cerita. Cerita yang sudah selesai ditulis, meskipun tintanya masih terlihat samar di hati.
Maka, kalau kau bertanya padaku sekarang: "Kalau calon mertua ketus, lanjutin atau tinggalin?"
Aku akan bilang: lihatlah dirimu sendiri. Apakah cintamu cukup kuat untuk menembus dinding? Apakah kau siap hidup dengan tatapan dingin di meja makan? Apakah kau siap ditimbang-timbang setiap hari dengan ukuran yang tidak pernah adil?
Kalau kau siap, maka lanjutkan. Tapi kalau tidak, tinggalkan. Bukan karena kau tidak mencintai, tapi karena kau juga mencintai dirimu sendiri.
Dan percaya lah: tidak ada cinta yang sia-sia. Meski tidak sampai ke pelaminan, ia tetap meninggalkan jejak. Jejak itu mungkin berupa luka, tapi juga berupa keberanian.
Aku pernah mencintai dengan cara sederhana: duduk di bawah pohon jambu, berbagi cerita, menyimpan rahasia di balik senyum. Itu mungkin tampak kecil bagi dunia, tapi bagiku, itu adalah salah satu hal terindah dalam hidupku.
Hari ini, aku menuliskannya kembali. Bukan untuk menyesal, bukan untuk berharap, tapi sekadar mengingat: bahwa dulu, di sebuah kota kecil, ada dua anak muda yang mencoba melawan dunia, tapi kalah. Dan itu tidak apa-apa. Karena kadang, yang membuat hidup berharga bukan hanya kemenangan, tapi juga keberanian untuk pernah mencoba. Moga bermanfaat***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI