Aku tak ingin menyalahkan siapa pun. Mungkin orang tuanya benar: siapa yang mau hidup susah? Siapa yang mau anaknya menanggung lapar di dapur? Dalam hitungan mereka, aku hanya membawa cinta, tapi tidak membawa jaminan. Dan cinta, dalam matematika mereka, tidak masuk neraca laba-rugi.
Tapi bukankah cinta juga sejenis kekayaan? Kekayaan yang tidak bisa dijual di pasar induk, tidak bisa ditukar dengan kurs dolar, tapi membuat hidup terasa bernilai?
Aku ingat, pernah suatu kali aku melihat ayahku pulang dengan tangan kosong. Hujan semalam merusak padi, hama menyerang ladang. Tidak ada hasil yang bisa dijual. Tapi ibuku tetap menyambutnya dengan senyum. "Tak apa," katanya, "kita masih bisa makan singkong rebus." Malam itu kami duduk di dapur, makan singkong, dan anehnya aku merasa hangat. Bukankah itu juga cinta?
Mungkin itu sebabnya aku tetap berani mencintai meski tahu dinding di depan terlalu tinggi.
Hari ini, aku sudah jauh dari masa itu. Tapi kenangan tidak pernah benar-benar habis. Ia datang tiba-tiba, seperti aroma tanah basah setelah hujan.
Aku tidak tahu bagaimana perasaannya kini. Aku tidak tahu apakah ia bahagia dengan pernikahannya. Aku hanya tahu: setiap kali berpapasan, ada sekilas cahaya di matanya. Seperti sehelai daun yang jatuh dari pohon: kecil, tapi cukup untuk menimbulkan riak di air tenang.
Apakah aku menyesal? Tidak sepenuhnya. Kalau aku menyesal, berarti aku ingin kembali ke masa lalu. Padahal masa lalu bukanlah rumah, ia hanya lorong tempat kita pernah berjalan. Kita bisa menoleh, tapi tidak bisa tinggal di sana.
Namun aku juga tahu: ada luka yang tidak bisa sembuh sempurna. Luka itu bukan karena kehilangan dia, tapi karena menyadari bahwa cinta bisa dikalahkan oleh status sosial, oleh restu yang tidak pernah datang.
"Kalau dapat calon mertua ketus, lanjutin atau tinggalin?"
Pertanyaan itu mungkin sederhana, tapi jawabannya rumit. Aku memilih meninggalkan, karena aku ingin menjaga diriku sendiri. Aku tahu, jika aku memaksa, aku akan hidup dengan dinding yang selalu menekan. Aku mungkin bisa menikahinya, tapi mungkin selamanya aku hanya dianggap "orang luar" di keluarganya.
Tapi ada juga yang memilih bertahan, melawan arus, menantang restu. Sebagian berhasil membuktikan bahwa cinta bisa lebih kuat dari segalanya. Sebagian lain hancur di tengah jalan.