Pagi di Denpasar selalu dimulai dengan deru mesin yang terburu-buru. Jalanan berliku, penuh motor yang berebut ruang, mobil yang merayap seperti kura-kura malas. Dari utara ke selatan, dari rumah kecil di pinggiran hingga kantor-kantor di jantung kota, arus manusia bergerak seperti air pasang. Tak ada yang bisa menahan, tak ada yang bisa benar-benar mengatur. Di jalan, kita semua adalah makhluk yang sama: terjebak.
Saya pun bagian dari arus itu. Berangkat ke Denpasar untuk sebuah tugas, berpacu dengan waktu, berpacu dengan nasib. Di jalan, kadang saya tertawa, kadang saya ingin menangis. Sebab apa yang disebut commuting---perjalanan rutin dari rumah ke tempat kerja---selalu menyimpan drama. Ia bisa jadi tragedi, tapi sekaligus komedi.
Macet adalah panggung teater yang setiap hari dipentaskan tanpa perlu tiket. Semua aktor hadir secara sukarela, atau lebih tepatnya, terpaksa. Ada bapak dengan wajah muram, di balik helm bututnya tampak bekas lelah bekerja bertahun-tahun. Ada anak muda yang tetap nekat menatap ponselnya sambil menyetir motor, seakan layar kecil lebih penting dari lubang jalan yang mengintai. Ada ibu-ibu yang dengan tenang membuka bekal di dalam mobil, memberi makan anaknya sambil menunggu lampu merah.
Dan ada saya, duduk di kursi penumpang, membuka buku. Membaca bukan untuk mencari hiburan, tapi untuk melupakan klakson yang bersahut-sahutan. Sesekali, saya juga membuat mind mapping: garis-garis yang menghubungkan ide, topik, dan perasaan. Dari jalan macet, tiba-tiba lahir gagasan tentang kesabaran. Dari deru motor, muncul inspirasi menulis tentang kebisingan yang tak pernah usai.
Anehnya, di tengah stres, justru sering lahir ide-ide terbaik.
Tapi jangan salah. Macet tak selalu romantis. Kadang ia menjelma jadi neraka kecil. Bayangkan terjebak satu jam hanya untuk menempuh jarak lima kilometer. Keringat bercampur amarah. Pikiran melayang pada rapat yang sebentar lagi dimulai. Waktu seolah-olah mencemooh kita: semakin dikejar, semakin jauh.
Dalam situasi begini, orang bisa berubah. Mereka yang biasanya sopan, mendadak suka menyerobot. Mereka yang biasanya sabar, mendadak suka membunyikan klakson panjang-panjang, seperti sedang menulis sumpah serapah dengan suara. Di jalan, kita seperti melupakan siapa diri kita sebenarnya.
Tapi saya percaya, commuting adalah pelajaran dalam penyamaran. Ia menyamar sebagai tragedi, padahal sesungguhnya komedi. Kita hanya perlu menonton dengan jarak tertentu.
Saya teringat satu pagi. Jalan menuju Denpasar padat merayap. Motor-motor menyalip di celah sempit. Sopir mobil di depan saya mengeluh, "Ah, Bali sekarang sudah kayak Jakarta!" Saya menoleh keluar jendela, melihat papan reklame besar yang bertuliskan "Welcome to Paradise Island". Saya ingin tertawa. Surga macam apa yang tiap paginya hanya menyajikan konser klakson?
Namun, begitulah hidup kota. Denpasar bukan hanya pura dan upacara adat. Denpasar juga deretan lampu merah, antrean panjang di bypass, dan kesibukan manusia modern yang lupa bahwa mereka pernah hidup sederhana.
Barangkali, satu-satunya cara bertahan adalah dengan menciptakan ruang kecil di tengah keruwetan. Ruang itu bisa berupa buku yang kita baca. Bisa berupa catatan-catatan kecil di kertas, atau sekadar coretan mind mapping tentang apa yang ingin ditulis nanti malam. Bisa juga berupa lamunan---karena di tengah macet, melamun kadang terasa lebih produktif daripada marah.
Seseorang pernah berkata kepada saya, "Commuting itu seperti meditasi. Bedanya, kalau meditasi kau duduk tenang di kamar, kalau commuting kau duduk gelisah di atas motor." Ada benarnya. Sebab pada akhirnya, kedua-duanya mengajarkan kita satu hal: menunggu.
Kita menunggu lampu hijau. Kita menunggu antrean longgar. Kita menunggu jam kerja selesai. Kita menunggu liburan panjang. Hidup, kalau dipikir-pikir, hanyalah rangkaian menunggu. Dan commuting hanyalah salah satu ujiannya.
Tapi apa kita harus menyerah? Tentu tidak. Saya memilih menulis. Kadang hanya catatan sebaris, kadang setengah halaman. Tentang wajah tukang parkir yang setia berdiri meski panas terik. Tentang anak kecil yang tertidur di jok motor, kepalanya terguncang-guncang. Tentang pedagang asongan yang tak kenal lelah. Semua itu adalah potret kehidupan yang jarang terlihat di balik layar komputer kantor.
Dan bukankah menulis adalah cara untuk merebut kembali kendali? Kita tak bisa mengendalikan macet, tapi kita bisa mengendalikan apa yang lahir darinya.
Lucunya, commuting juga memperlihatkan absurditas kita sebagai bangsa. Kita suka mengeluh soal macet, tapi kita juga suka membeli kendaraan baru. Kita membangun jalan tol yang lebih lebar, tapi juga memperbanyak mal yang mengundang lebih banyak mobil. Kita mengkampanyekan hidup sehat, tapi membiarkan orang kehilangan tiga jam setiap hari hanya untuk duduk di belakang kemudi.
Ironi itu kadang membuat saya ingin menertawakan diri sendiri. Apakah kita ini korban atau pelaku? Apakah kita benar-benar ingin solusi, atau sekadar menikmati drama jalanan?
Di sinilah commuting berubah jadi komedi. Komedi yang pahit, tapi tetap komedi. Kita mengumpat, lalu kita pasrah. Kita marah, lalu kita tertawa. Seperti menonton sandiwara yang sudah kita hafal, tapi tetap kita ikuti setiap hari.
Sore hari, perjalanan pulang seringkali lebih gila. Matahari tenggelam, jalanan semakin penuh. Orang-orang hanya ingin cepat sampai rumah. Tapi justru di saat itu, macet lebih parah. Ironi lagi.
Saya kembali membuka buku. Kali ini bukan untuk melupakan macet, tapi untuk menemani. Di sela-sela halaman, saya menemukan kalimat yang menohok: "Hidup adalah perjalanan, bukan tujuan." Saya tersenyum pahit. Sebab kalau hidup adalah perjalanan, maka orang Denpasar yang tiap hari terjebak macet pastilah sudah mencapai tingkat kesucian yang lebih tinggi.
Sesampai di rumah, saya menyalin catatan-catatan dari jalan. Mind mapping yang semrawut saya rapikan, lalu berubah jadi kerangka tulisan. Komedi jalanan itu akhirnya bertransformasi jadi refleksi. Dari tragedi kecil lahir karya sederhana. Dan mungkin, itulah hadiah tersembunyi dari commuting.
Keesokan paginya, saya kembali berangkat. Jalan masih sama. Motor masih berdesakan. Mobil masih merayap. Klakson masih bersahut-sahutan. Tapi di kepala saya sudah ada ide baru untuk ditulis.
Saya menyadari, commuting memang tak bisa dihindari. Ia seperti musim hujan: kita hanya bisa menyiapkan payung, bukan menghentikan hujan. Dan kalau kita cukup sabar, dari balik derasnya, selalu ada benih inspirasi yang tumbuh.
Maka, biarlah commuting tetap menjadi tragedi yang menyamar jadi komedi. Biarlah macet tetap hadir setiap pagi dan sore. Karena tanpa itu, mungkin saya tak pernah belajar menertawakan hidup.
Dan bukankah menertawakan hidup adalah cara paling manusiawi untuk bertahan? Moga bermanfaat****
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI