Mohon tunggu...
I Nyoman Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen Kimia Undiksha - Hoby menanam anggur

Jalan jalan dan berkebun

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Commuting: Tragedi yang Menyamar Jadi Komedi

23 Agustus 2025   16:21 Diperbarui: 26 Agustus 2025   08:16 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN)

Pagi di Denpasar selalu dimulai dengan deru mesin yang terburu-buru. Jalanan berliku, penuh motor yang berebut ruang, mobil yang merayap seperti kura-kura malas. Dari utara ke selatan, dari rumah kecil di pinggiran hingga kantor-kantor di jantung kota, arus manusia bergerak seperti air pasang. Tak ada yang bisa menahan, tak ada yang bisa benar-benar mengatur. Di jalan, kita semua adalah makhluk yang sama: terjebak.

Saya pun bagian dari arus itu. Berangkat ke Denpasar untuk sebuah tugas, berpacu dengan waktu, berpacu dengan nasib. Di jalan, kadang saya tertawa, kadang saya ingin menangis. Sebab apa yang disebut commuting---perjalanan rutin dari rumah ke tempat kerja---selalu menyimpan drama. Ia bisa jadi tragedi, tapi sekaligus komedi.

Macet adalah panggung teater yang setiap hari dipentaskan tanpa perlu tiket. Semua aktor hadir secara sukarela, atau lebih tepatnya, terpaksa. Ada bapak dengan wajah muram, di balik helm bututnya tampak bekas lelah bekerja bertahun-tahun. Ada anak muda yang tetap nekat menatap ponselnya sambil menyetir motor, seakan layar kecil lebih penting dari lubang jalan yang mengintai. Ada ibu-ibu yang dengan tenang membuka bekal di dalam mobil, memberi makan anaknya sambil menunggu lampu merah.

Dan ada saya, duduk di kursi penumpang, membuka buku. Membaca bukan untuk mencari hiburan, tapi untuk melupakan klakson yang bersahut-sahutan. Sesekali, saya juga membuat mind mapping: garis-garis yang menghubungkan ide, topik, dan perasaan. Dari jalan macet, tiba-tiba lahir gagasan tentang kesabaran. Dari deru motor, muncul inspirasi menulis tentang kebisingan yang tak pernah usai.

Anehnya, di tengah stres, justru sering lahir ide-ide terbaik.

Tapi jangan salah. Macet tak selalu romantis. Kadang ia menjelma jadi neraka kecil. Bayangkan terjebak satu jam hanya untuk menempuh jarak lima kilometer. Keringat bercampur amarah. Pikiran melayang pada rapat yang sebentar lagi dimulai. Waktu seolah-olah mencemooh kita: semakin dikejar, semakin jauh.

Dalam situasi begini, orang bisa berubah. Mereka yang biasanya sopan, mendadak suka menyerobot. Mereka yang biasanya sabar, mendadak suka membunyikan klakson panjang-panjang, seperti sedang menulis sumpah serapah dengan suara. Di jalan, kita seperti melupakan siapa diri kita sebenarnya.

Tapi saya percaya, commuting adalah pelajaran dalam penyamaran. Ia menyamar sebagai tragedi, padahal sesungguhnya komedi. Kita hanya perlu menonton dengan jarak tertentu.

Saya teringat satu pagi. Jalan menuju Denpasar padat merayap. Motor-motor menyalip di celah sempit. Sopir mobil di depan saya mengeluh, "Ah, Bali sekarang sudah kayak Jakarta!" Saya menoleh keluar jendela, melihat papan reklame besar yang bertuliskan "Welcome to Paradise Island". Saya ingin tertawa. Surga macam apa yang tiap paginya hanya menyajikan konser klakson?

Namun, begitulah hidup kota. Denpasar bukan hanya pura dan upacara adat. Denpasar juga deretan lampu merah, antrean panjang di bypass, dan kesibukan manusia modern yang lupa bahwa mereka pernah hidup sederhana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun