Barangkali, satu-satunya cara bertahan adalah dengan menciptakan ruang kecil di tengah keruwetan. Ruang itu bisa berupa buku yang kita baca. Bisa berupa catatan-catatan kecil di kertas, atau sekadar coretan mind mapping tentang apa yang ingin ditulis nanti malam. Bisa juga berupa lamunan---karena di tengah macet, melamun kadang terasa lebih produktif daripada marah.
Seseorang pernah berkata kepada saya, "Commuting itu seperti meditasi. Bedanya, kalau meditasi kau duduk tenang di kamar, kalau commuting kau duduk gelisah di atas motor." Ada benarnya. Sebab pada akhirnya, kedua-duanya mengajarkan kita satu hal: menunggu.
Kita menunggu lampu hijau. Kita menunggu antrean longgar. Kita menunggu jam kerja selesai. Kita menunggu liburan panjang. Hidup, kalau dipikir-pikir, hanyalah rangkaian menunggu. Dan commuting hanyalah salah satu ujiannya.
Tapi apa kita harus menyerah? Tentu tidak. Saya memilih menulis. Kadang hanya catatan sebaris, kadang setengah halaman. Tentang wajah tukang parkir yang setia berdiri meski panas terik. Tentang anak kecil yang tertidur di jok motor, kepalanya terguncang-guncang. Tentang pedagang asongan yang tak kenal lelah. Semua itu adalah potret kehidupan yang jarang terlihat di balik layar komputer kantor.
Dan bukankah menulis adalah cara untuk merebut kembali kendali? Kita tak bisa mengendalikan macet, tapi kita bisa mengendalikan apa yang lahir darinya.
Lucunya, commuting juga memperlihatkan absurditas kita sebagai bangsa. Kita suka mengeluh soal macet, tapi kita juga suka membeli kendaraan baru. Kita membangun jalan tol yang lebih lebar, tapi juga memperbanyak mal yang mengundang lebih banyak mobil. Kita mengkampanyekan hidup sehat, tapi membiarkan orang kehilangan tiga jam setiap hari hanya untuk duduk di belakang kemudi.
Ironi itu kadang membuat saya ingin menertawakan diri sendiri. Apakah kita ini korban atau pelaku? Apakah kita benar-benar ingin solusi, atau sekadar menikmati drama jalanan?
Di sinilah commuting berubah jadi komedi. Komedi yang pahit, tapi tetap komedi. Kita mengumpat, lalu kita pasrah. Kita marah, lalu kita tertawa. Seperti menonton sandiwara yang sudah kita hafal, tapi tetap kita ikuti setiap hari.
Sore hari, perjalanan pulang seringkali lebih gila. Matahari tenggelam, jalanan semakin penuh. Orang-orang hanya ingin cepat sampai rumah. Tapi justru di saat itu, macet lebih parah. Ironi lagi.
Saya kembali membuka buku. Kali ini bukan untuk melupakan macet, tapi untuk menemani. Di sela-sela halaman, saya menemukan kalimat yang menohok: "Hidup adalah perjalanan, bukan tujuan." Saya tersenyum pahit. Sebab kalau hidup adalah perjalanan, maka orang Denpasar yang tiap hari terjebak macet pastilah sudah mencapai tingkat kesucian yang lebih tinggi.
Sesampai di rumah, saya menyalin catatan-catatan dari jalan. Mind mapping yang semrawut saya rapikan, lalu berubah jadi kerangka tulisan. Komedi jalanan itu akhirnya bertransformasi jadi refleksi. Dari tragedi kecil lahir karya sederhana. Dan mungkin, itulah hadiah tersembunyi dari commuting.