Di sebuah ruang bersalin di sudut kota Gianyar, seorang perempuan menangis dalam diam. Tangannya mencengkeram sprei ranjang, matanya memejam rapat, dan tubuhnya menggigil setiap kali kontraksi datang seperti gelombang laut yang murka. Di luar ruangan, seorang suami menunduk pada layar ponsel, mencari-cari doa atau petuah yang bisa membuatnya merasa berguna. Di dinding, jam berjalan lambat. Dan entah di mana, seorang dokter dengan tangan bersarung lateks menimbang: apakah ini saatnya menyarankan sesar?
Itulah fragmen yang, mungkin, tak asing di mana pun anak lahir. Melahirkan kerap dibayangkan sebagai kisah antara hidup dan mati, antara darah dan teriakan. Kita menyebutnya "perjuangan", "pertempuran", "pengorbanan". Lalu kita memberikan gelar sakral: ibu.
Tapi bagaimana jika semua itu dibangun dari ketakutan?
Grantly Dick-Read, seorang dokter kandungan dari Inggris yang hidup di awal abad ke-20, suatu kali menyaksikan sesuatu yang mengubah hidupnya. Ia membantu seorang perempuan desa melahirkan tanpa obat penghilang rasa sakit. Ketika ditanya mengapa ia tak meminta bantuan anestesi, perempuan itu menjawab dengan tenang, "Melahirkan tidaklah sakit. Ia alami." Sejak saat itu, Dick-Read mulai meragukan apa yang selama ini diyakini dunia medis.
Buku Childbirth Without Fear, pertama kali terbit tahun 1942 dan terus dicetak ulang, adalah semacam manifesto: melahirkan bukanlah pengalaman menyakitkan karena kodratnya, tapi karena kita---masyarakat, budaya, bahkan medis---telah menanamkan rasa takut begitu dalam kepada perempuan.
Ketakutan, tulis Dick-Read, melumpuhkan tubuh. Ia membuat otot-otot tegang, aliran darah kacau, dan sistem saraf menjerit dalam kepanikan. Dalam tubuh yang ketakutan, rasa nyeri menjadi lebih tajam, lebih lama, lebih melelahkan. Ia menyebutnya Fear-Tension-Pain Syndrome: ketakutan menimbulkan ketegangan; ketegangan menciptakan rasa sakit; dan rasa sakit memperkuat ketakutan. Lingkaran setan.
Pola ini tidak eksklusif untuk ruang bersalin. Ia hidup dalam berbagai wujud: dalam tubuh anak-anak yang belajar membaca dengan takut salah, dalam dada pekerja yang tiap hari dihantui PHK, dalam langkah-langkah perempuan yang melewati jalan sepi malam hari.
Tapi dalam konteks persalinan, ketakutan ini diwariskan. Lewat cerita ibu ke anak, lewat sinetron, lewat film yang menampilkan wanita melahirkan sambil berteriak histeris, ditetesi keringat dan air mata, disorot lampu putih terang di ruang operasi. Kita belajar bahwa melahirkan itu menyakitkan, menakutkan, dan tidak terhindarkan.
Maka sejak usia dini, tubuh perempuan pun bersiap---bukan untuk melahirkan, tapi untuk menderita.
Dick-Read menawarkan narasi tandingan. Tubuh perempuan, menurutnya, diciptakan untuk melahirkan. Organ tubuhnya---rahim, panggul, hormon---adalah sistem biologis yang luar biasa canggih. Jika tubuh diberi ruang, waktu, dan kepercayaan, maka proses kelahiran bisa berjalan seperti tubuh bernapas: alami, ritmis, tidak memaksa.