Di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi, pendidikan tinggi tak sekadar tempat mencari ilmu, melainkan juga panggung opera. Universitas bukan lagi sekadar lembaga akademik, melainkan arena gladiator tempat para dosen bertempur demi gelar, para mahasiswa mengejar lulus dengan tempo kilat, dan jurnal ilmiah tumbuh seperti jamur di musim hujan---tapi tentu saja, tak semua bisa dimakan.
Baru-baru ini, dunia pendidikan Indonesia kembali dihajar badai---bukan karena banjir proposal riset inovatif atau tsunami kreativitas mahasiswa, melainkan karena kemunculan Integrity Risk Index (RI). Penelitian yang digagas oleh Profesor Lokman Meho dari American University of Beirut ini seperti mengangkat tirai kamar yang berdebu. Ternyata, di balik kaca jendela ranking internasional yang mengilap, ada tumpukan sampah integritas yang mulai membusuk.
Tiga belas kampus ternama di Indonesia masuk dalam zona merah integritas riset. Ironisnya, nama-nama yang disebut bukan kampus abal-abal. Ada BINUS yang dikenal sebagai kampus digital, UNDIP yang katanya nasionalis sejati, UNPAD yang kebanggaan Sunda, dan UNAIR yang baru saja mengklaim diri sebagai kampus nomor satu di Asia Tenggara dalam THE Impact Rankings 2025.
Baru juga dapat ranking, eh, malah masuk daftar kampus dengan risiko integritas tertinggi. Apa ini yang disebut prestasi ganda?
Ketika Ranking Lebih Penting dari Renungan
Sungguh, dunia pendidikan kita telah naik kelas. Dulu masalahnya cuma soal UKT naik dan sinyal WiFi lemot. Sekarang, lebih prestisius: kita bicara plagiasi, joki jurnal, hingga manipulasi publikasi. Jurnalisme ilmiah telah berevolusi menjadi jurnal-is-me, alias asal bisa masuk jurnal, tak peduli apa isinya.
Semua ingin tampil di Scopus, tak peduli kalau harus skip us (melewati etika). Yang penting nama masuk daftar publikasi. Tak jarang, profesor yang mulia, dengan rambut memutih karena memikirkan masa depan bangsa (katanya), ikut-ikutan numpang nama di artikel yang bahkan ia sendiri tak paham isinya.
Bahkan ada istilah baru: jurnal safari. Isinya bukan riset, tapi pelesiran akademik---risetnya di Google, datanya dari ChatGPT, jurnalnya disubmit via agensi publikasi internasional yang menyamar sebagai konsultan akademik. Semua bisa, asal bayar. Kalau dulu ada biro jodoh, sekarang ada biro jurnal.
Dosen: Antara Ilmu dan Ilmu Komoditas
Mari kita bicara dosen. Sosok akademisi yang dulu dianggap lumbung kebijaksanaan kini harus menjadi akrobat akademik. Mereka dituntut loncat dari konferensi ke konferensi, dari call for paper ke call for funding, tanpa sempat benar-benar berpikir.