Coba bayangkan dunia kampus kita sebagai reality show:
Dosen berebut gelar dalam episode Master Researcher Indonesia.
Mahasiswa berlomba-lomba lulus tercepat dalam Skripsi Runway.
-
Joki jurnal tampil di Akademik Idol, menunjukkan keahlian dalam menyulap artikel seadanya menjadi publikasi bereputasi.
Sementara para dekan dan rektor menjadi juri, menilai bukan dari kualitas isi, tetapi dari seberapa sering nama kampus muncul di berita internasional.
Tentu saja, sponsor utama acara ini adalah KPI Akademik dan Lembaga Akreditasi Global. Dan kalau ada skandal, tinggal tekan tombol klarifikasi di media sosial---lalu semua kembali seperti semula.
Di Mana Harapan Itu?
Kini kita bertanya: apakah dunia pendidikan kita sudah benar-benar rusak? Tentu saja tidak. Masih ada dosen-dosen idealis yang rela tidur larut untuk menulis jurnal bermutu. Masih ada mahasiswa yang bersusah payah mengumpulkan data di lapangan. Masih ada kampus yang menjaga integritas meski tak masuk peringkat apa pun.
Namun mereka seringkali tenggelam dalam kebisingan sistem. Dalam dunia yang lebih menghargai akreditasi daripada akhlak, lebih menghormati ranking internasional daripada relevansi lokal, dan lebih memilih kuantitas daripada kualitas, para idealis menjadi spesies langka.
Akhir Kata: Pendidikan Tinggi, Moral yang Rendah
Dunia pendidikan kita sedang berdiri di persimpangan jalan. Antara menjadi tempat penciptaan peradaban, atau sekadar pabrik gelar dan publikasi. Antara menjadi lumbung ide dan nilai, atau cukup puas menjadi ladang bisnis akademik.