Mohon tunggu...
I Nyoman Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen Kimia Undiksha - Hoby menanam anggur

Jalan jalan dan berkebun

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Bioplastik, Ayam dan Udang

11 Juli 2025   21:03 Diperbarui: 11 Juli 2025   21:03 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Dokpri  (Sumber:  diolah dari berbagai sumber )

Suatu pagi, ketika plastik menari-nari di selokan, saya teringat seekor udang yang telah mati. Ia tak pernah tahu bahwa cangkangnya akan dihancurkan menjadi chitosan---lalu diubah menjadi plastik yang lembut, ringan, dan akhirnya membungkus makanan instan yang dibeli seorang anak manusia dari warung pojok.

Plastik itu akhirnya mengambang di laut. Menyatu dengan jutaan kawanannya. Tak terurai, tak hancur. Tapi dalam suatu babak ironi yang entah disusun siapa, udang-udang lain akan makan mikroplastik itu, sebelum mereka sendiri mati dan kulitnya dijadikan plastik ramah lingkungan.

Kita hidup dalam sebuah lingkaran yang samar. Lingkaran yang pelan-pelan, nyaris diam-diam, berubah dari logam berat ke mikropartikel, dari mesin ke mikroba, dari limbah menjadi bahan baku. Dan siapa sangka, bulu ayam yang biasa dilempar ke tempat sampah itu---yang kita anggap tak punya nilai lebih daripada ilalang kering di musim kemarau---kini dijadikan bahan pembuat plastik baru. Bioplastik, katanya.

Saya membayangkan bulu ayam. Ringan, berserabut, kadang menempel di sela-sela jari si pemotong ayam di pasar. Di sana, bau amis dan darah yang belum membeku menyatu dalam udara yang panas. Tapi di laboratorium---yang lantainya mengilap dan sepi suara manusia---bulu itu direbus, dihancurkan, diekstrak hingga keluar keratin: protein keras yang biasanya ditemukan juga pada rambut, kuku, dan tanduk.

Keratin dari bulu ayam, chitosan dari udang. Dua limbah. Dua sisa kehidupan. Tapi justru dari yang tersisa itulah kita kini berharap menyelamatkan dunia. Seolah-olah, yang dibuang bisa menjadi penyelamat. Sebagaimana luka bisa menjadi alasan untuk mencipta puisi.

Dalam pengantar ilmiahnya, para penulis menyebut angka-angka: 2 hingga 5 miliar ton limbah dihasilkan dari industri perunggasan dan kelautan tiap tahun. Angka-angka yang tak pernah benar-benar menyentuh dada kita---sebab kita hidup dalam dunia yang menghitung plastik per potong, bukan per juta ton.

Tapi barangkali, di balik angka-angka itu, tersimpan kisah yang lebih pelik. Tentang ayam yang hidup dalam kandang sempit, lalu dipotong berjuta-juta tiap hari. Tentang udang-udang yang dibesarkan di tambak berair payau, yang tubuhnya tak pernah menari bebas di laut terbuka. Kita membunuh mereka, mengambil dagingnya, dan membuang sisanya. Lalu, di era ini, kita ambil kembali sisanya, untuk menggantikan plastik yang tak bisa hancur.

Ironi memang gemar bertengger di sudut-sudut ilmu pengetahuan.

Bioplastik disebut sebagai jalan keluar. Bukan karena ia sempurna. Tapi karena ia lebih bisa hancur. Karena ia bisa terurai di bawah tanah, di air, di udara yang bersentuhan dengan mikroba. Tidak seperti saudaranya---plastik sintetis dari turunan minyak bumi---yang bisa bertahan ratusan tahun tanpa berubah.

Tapi seperti segala hal dalam hidup ini, bioplastik pun datang dengan kontradiksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun