Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | [Cemburu] Perempuan yang Menjaring Awan di Bukit Kesepian

3 November 2018   07:00 Diperbarui: 3 November 2018   16:09 1180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah kuduga, menemani kesepian yang tengah sendirian di atas bukit menjadi perihal yang menyenangkan.

Karena, berbeda denganku, kesepian tidak memiliki cukup permintaan. Dan, kami sama-sama tidak membutuhkan banyak percakapan.

Aku hanya perlu duduk, bernyanyi sembarangan, sembari sibuk merajut jaring yang terbuat dari rambut panjang. Masih segar, baru kupotong kemarin malam. Hitam-putih-kelabu bersilangan.

"Apa yang hendak kau jaring, Puan?" Kesepian bertanya datar, wajah sayu yang selalu muram itu tidak pernah mengulas senyuman. Kasihan, dia benar-benar sendirian. Tidak ada kabar, kebahagiaan, bahkan rindu pun malas bertandang.

"Aku ingin menjaring awan, memintalnya menjadi benang, lalu kutenun menjadi kain yang lembut dan nyaman," jawabku seraya memandangi gumpalan-gumpalan putih yang stagnan di atas sana.

"Untuk apa kain itu?"

Aku tersenyum, rupanya kesepian masih punya rasa ingin tahu. "Mendekatlah, ini rahasia," aku berbisik penuh kebanggaan. "Dengan jubah yang terbuat dari awan, aku akan bisa terbang."

Kesepian terdiam. Kembali menjadi dirinya yang selalu bungkam. Tanpa buncah, tanpa gairah. Menekuri kesendirian yang baginya keindahan.

Tidak masalah. Aku dapat kembali berkutat dengan jalinan mata jala, sembari berkidung tentang nestapa, tentang mereka.

Tentang dandelion yang rela melepaskan anak-anaknya. Tentang pohon oak yang semakin tua. Tentang burung-burung yang pergi dari sarangnya.

Segala berkelana, menuruti kehendak angin. Terombang-ambing di lingkup pusaran, berandai-andai memiliki pilihan.

Ah ... bagaimana aku tidak cemburu?

Ketika angin pun telah membelaimu, lebih dulu daripada aku. Saat angin menghambur ke pelukanmu, lebih cepat dibandingkan kaki rentaku. Tatkala angin meninabobokanmu, lebih lembut daripada senandungku.

Bukankah wajar aku cemburu?

Waktu kamu berkata, akan mencari jalan pulang pada puncak-puncak di atas awan, tertidur syahdu dalam buaian angin yang menderu, dan enggan pulang ke pangkuanku.

Sampai di mana kamu, Bujang?

Kelak, bilamana jubah berbahan awan berhasil membawaku terbang, aku akan pergi menemani ke seluruh tepi yang kamu ingini. Tanduk-tanduk jurang atau batu-batu karang, siap aku jabani.  

Percayalah, cinta ini lebih setia daripada angin yang pandai bermain rasa. Cuaca saja dibuatnya galau sepanjang tahun, apalagi kita.

Biarkan aku merebut kembali jiwamu yang telah terpatri di gua-gua, pelataran hutan, dan tebing-tebing curam. Nanti kamu tahu, bahwa aku lebih mampu merawatmu, daripada batang pohon dan batu-batu.

Sabar, sebentar lagi. Sudahkah bosan?

Sejak dulu, barangkali aku terlalu sering memintamu menunggu. Nasi yang belum matang, air yang belum panas, baju lebaran yang cuma angan, sepatu yang belum terbeli. Apa itu yang membuatmu pergi, Bujang?

"Sudah selesai jaringnya, Puan?" Kesepian bertanya, membubarkan bayang-bayang kamu di mataku yang telah rabun belasan tahun lalu.

Aku mengangguk, menyelesaikan siratan terakhir. Meraih dahan patah yang kugunakan sebagai penopang jalanku yang gemetar. Wujudnya yang penuh guratan cokelat tua, membuat kami tampak serupa.

Tertatih, aku menuju pohon oak tua di tepi lembah. Kuselipkan jaring hitam putih kelabu di ikat pinggang.

Dengan sisa-sisa kekuatan pada ujung usia, aku memeluk dahan pohon oak yang menjuntai hingga ke tanah. Perlahan merayap hingga ke pucuk yang mampu kuraih.

Tidak sulit, pohon tua renta ini telah berundak di sana-sini. Kurasa, sebelumnya sudah pernah ada nenek-nenek yang memanjatnya dengan tujuan yang sama. Menjaring awan untuk membuat jubah, dan terbang menyusul anak-anaknya.

Lama, waktu memanjang pada kepakan sayap burung gereja.

Sesampainya aku di dahan tertinggi, awan telah berubah warna. Kuning, jingga, keemasan. Jauh lebih memesona daripada siang tadi.

Berkeringat, tanganku yang gentar melepaskan penutup kepala. Angin menerpanya serta-merta. 

Lembut dan hangat. Buaian yang melenakan. Pantas saja Bujang lebih memilihnya daripada aku.

Aku berusaha mereguk kesadaran, namun gagal. Terlalu lelah untuk berdiri dan mulai menjaring awan.

Lamat-lamat, aku menambatkan alam bawah sadar di pucuk oak. Berbicara dengan angin pujaan Bujang.

"Apa kabar, Puan?" Angin lebih dulu angkat bicara. Tak kusangka dia ramah juga.

"Tidak terlalu baik, Angin. Di usiaku yang telah senja seperti langit, aku masih menyimpan kecemburuan mendalam yang butuh penuntasan."

"Kepada siapa, Puan?"

"Kepadamu, Angin."

Angin menggelayuti ranting, tubuhnya yang ringan tidak putuh penopang kokoh. Dia terlihat sedih. "Apa yang kamu inginkan dariku?"

"Aku tidak butuh apa-apa darimu. Aku ingin jadi sepertimu. Terbang bebas dan lepas. Membelai Bujang hingga tertidur pulas. Menenangkan Bujang ketika hujan deras. Membantu Bujang menerbangkan pesawat kertas."

"Apa itu sebabnya kamu ingin menjaring awan? Kalau begitu, aku akan membantumu. Aku akan meminta awan turun kemari, agar mudah kau raih."

Wajahku seketika cerah seperti bocah. "Baiklah, terima kasih, Angin. Kamu lebih baik dari yang kukira."

"Kamu kira aku sejahat apa?"

Aku tertunduk malu. Sementara angin telah beringsut menuju langit, meliuk indah bak balerina yang menari di atas awan.

Aku terpukau, dan semakin cemburu.

Beberapa saat aku menunggu, sekelompok awan berduyun-duyun menghampiriku. Halus, dan dingin...

Mereka memeluk, menyelubungiku dengan gumpalan keemasan beraroma pisang. Hei! Aku bahkan tidak perlu memintal, menenun, dan menjahit, mereka telah menyatu dan menjadi jubah indah untuk menerbangkanku.

Empuk, dan lembut. Alih-alih terbang, aku malah meringkuk menikmati sejuk dan nyamannya jubah keemasan yang terbuat dari awan.

Aku larut dan hanyut. Di atas pohon oak, aku tertidur nyenyak.

Ringan, ringan, terbang.

Menyusul Bujang.

***

Belasan tahun kemudian ...

Kesepian yang sendirian, tidak lagi bergumul dengan kesedihan. Anak-anak sering berkunjung, bersama kakek dan nenek mereka. 

Kesepian kini sibuk bermain layang-layang, meniupi anak-anak dandelion, atau bergelantungan di dahan oak muda.

"Kakek, kenapa bukit ini disebut Bukit Kesepian?" Seorang anak laki-laki tambun bertanya pada kakeknya.

Wajah yang diliputi senja itu tersenyum. "Konon, ada seorang perempuan tua yang menjaring awan agar bisa terbang. Dia memanjat pohon oak tua di ujung sana." Jarinya yang tak lagi segar menunjuk ke utara. "Tapi, ketika sampai di puncak, dia kelelahan, tertidur, dan kehujanan. Tubuhnya yang penuh guratan dan cokelat tua membeku, mengeras, dan menyatu dengan pohon. Coba amati!"

Anak laki-laki itu memandangi cabang-cabang ganjil di pucuk pohon oak tua. Seperti juntaian tangan, kaki, dan kepala yang kurus, sepi, dan sendiri, menghadap jurang.

"Kenapa dia melakukan itu, Kakek?"

Kakek menarik napas, terbatuk sebentar. "Dia kesepian, Bujang. Suaminya telah meninggal, sementara anak satu-satunya tidak kunjung kembali selepas izin mendaki Gunung Papandayan."

Mengigiti bibir, anak laki-laki tambun menggamit tangan kakeknya. Matanya berkaca-kaca. "Aku janji, akan terus menemani Kakek, dan tidak akan membiarkan Kakek kesepian seperti perempuan itu."

Sang Kakek tersenyum kaku, kehilangan kata-kata.

Dalam bungkam, dia merapal doa panjang dan penyesalan mendalam.

Menghukum diri atas luka dan duka Sang Ibunda, perempuan yang menjaring awan di Bukit Kesepian.

***

N. Setia Pertiwi

Cimahi, 03 November 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun