Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Miss You] Korpus Data Baron

26 Oktober 2018   12:20 Diperbarui: 26 Oktober 2018   12:53 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mataku terpejam. Meringkuk di lantai keramik. Bergumul dengan dingin yang menelusup hingga ke jantung.

Aku menggumam gentar gemetar tak berkesudahan. "Mimpi itu nyata ... mimpi itu nyata ... mimpi itu nyata ... nyata ... nyata ... nyata ..."

Tremor menjangkitiku dari kepala hingga kaki. Merasuk kembali segala kengerian yang bertubi-tubi merayapi lingkaran hidupku yang tadinya baik-baik saja.

Nyonya Deasy, Nyonya Lily, lalu Elfat? Apakah sosok Elfat yang kutemui dalam mimpi itu nyata? Mengapa wujudnya mirip sekali dengan Nyonya Lily? Apakah mereka sesungguhnya orang yang sama?

Ah!

Tanda tanya bertindak seperti kalajengking tua yang berjalan-jalan di otakku sembari memainkan sengatnya. Berkelebat tokoh-tokoh lain, tempat-tempat asing, dan agenda-agenda yang gagal.

Ngilu. Seringai waktu menghujami lobus oksipital dan temporal. Aku merasa telah terlibat begitu lama, begitu jauh. Tapi, kapan? Di mana?

Kamu mencari, hingga kehilangan apa? Kamu kehilangan, hingga mencari apa?

Bergidik, suara bengis perempuan itu datang lagi. Perempuan yang sama dengan sosok yang berkidung di malam perjamuan.

"Siapa dia ... siapa dia?" Aku bergumam.

"Siapa kamu?" Suara berat seorang laki-laki menyahut dari arah ... kanan!

Aku memekik, laki-laki gondrong bermata elang duduk bersila di sampingku, menyesap kopi yang masih mengepul.

"Mau?" Tangannya menyodorkan cangkir.

Aku menggeleng. Tertegun, dengan pikiran yang menderu. "Kamu siapa?"

"Hei, itu pertanyaanku. Cuma dibalik," ujar laki-laki itu, tersenyum tipis, sembari merapikan ujung kemejanya yang terlipat tidak karuan. "Sebaiknya kamu jawab, karena upayaku melepaskan diri dari cengkraman tiga perempuan haus darah itu bukan perkara mudah."

"Apakah kamu tahu apa yang mereka lakukan?"

"Sedikit. Tapi, sebaiknya kita barter informasi. Pertama, ceritakan tentang dirimu."

"Aku? Aku ... En. Pembantu Nyonya Desol, eh ...  Deasy."

"Selain itu?"

"Maksudnya?"

"Kamu pasti punya identitas lain, kan?"

Pertanyaan ganjil itu, mengirim sinyal aneh pada ingatanku. Ada kepingan-kepingan peristiwa yang bergulungan, terhempas, lalu lenyap. Tak tersentuh, tak menyentuh. Persis buih-buih lautan yang terus berkejaran tanpa pernah menyatu bersama pantainya.

Malaikat hitam akan datang tanpa undangan. Jangan bangunkan ia sebelum waktunya, jika kamu tidak ingin menggali ceruk yang kamu sebut sebagai mimpi buruk.

Dia lagi, perempuan itu berkidung kembali. Berkali-kali.

"Kenapa diam?"

"Aku sendiri tidak yakin," jawabku mengambang. "Lagipula, tempat apa ini? Kenapa kamu menangkapku? Bagaimana caramu lolos dari mereka? Siapa kamu? Apakah kamu tahu siapa aku?"

Lelaki itu diam, menatapku dalam. Pada matanya yang coklat tua, tersemat samudra. Luas dan bergelombang. Tangguh, mewakili kisah tentang orang-orang yang enggan kalah.

Dalam keheningan yang menjalar, aku mengamati sekeliling. Ruangan ini luas, begitu lapang karena perabotan hanya terdiri dari sebuah meja, kursi kerja, dan lemari buku di setiap sisi dinding yang meninggi hingga ke langit-langit. Perpustakaan?

"Ini rumah kamu?" Aku berupaya memecah pertanyaan demi mendapat jawaban.

Laki-laki itu menggoyangkan kepala tidak jelas, entah anggukan atau gelengan. "Apa kamu tahu Nyonya itu ratu dari komplotan pembunuh?"

Ah! Rasanya kalajengking dalam otakku semakin usil.  Terus menyengat di antara serakan pertanyaan tentang "apa" dan "siapa" yang bersemayam di dalam sana.

"Kamu ini polos atau pura-pura polos?" Laki-laki itu menghela napas. "Baiklah. Saya Geni, saya sepupu dari pemilik kepala yang kamu lihat dalam kulkas Nyonya Daisy."

Bulu kudukku meremang. Teringat onggokan mengenaskan, sekaligus mengerikan itu. Teringat kedatangan Nyonya Lily. Teringat judul artikel utama di koran. Teringat lubang hitam di otakku, akibat kehilangan satu ... dua ... tiga hari sejak malam perjamuan yang lebih layak disebut mimpi.

Dari Minggu hingga Selasa, apakah aku tertidur, atau melakukan segalanya tanpa kesadaran?

Geni merogoh saku, menyerahkan sebuah buku catatan. "Sebagian catatan-catatan Baron, termaktub di dalam sini."

"Baron siapa?"

"Sosok kepala di dalam kulkas."

Aku menerimanya dengan tangan gemetar. Halaman demi halaman, tidak banyak yang dapat aku pahami.

Namun, mataku tertumbuk pada sebuah simbol yang tidak asing. Bulan sabit. 

Pada halaman berikutnya, aku terperanjat. Foto seorang perempuan dengan jas putih tertempel di sana. Tampak seperti dokter, atau semacam orang yang bekerja di laboratorium.

Wajahnya sangat mirip denganku, eh ... tidak, itu memang aku. Di dadanya, terdapat emblem bulan sabit perak.

Kapan? Di mana? Kenapa aku berpenampilan seperti itu?

Fiat experimentum in corpore vili!

"Fiat experimentum in corpore vili ..." Aku berbisik, mengikuti kalimat yang diucapkan oleh suara perempuan itu, untuk kesekian kali.

Aku masih sangsi, apakah suara perempuan itu berupa memori, atau telepati yang dikirim lintas dimensi?

***

N. Setia Pertiwi

Cimahi, 26 Oktober 2018

*Cerpen ini dibuat untuk bermain-main dengan rindu : Desol, Putri, Lilik, Peb, Mim, En.

Cerita terkait:

1. Perayaan Para Perempuan

2. En, Pesta Belum Berakhir!

3. Wawancara Kematian

4. Kedatangan Nyonya Lily

5. Syair Kematian

6. Geni di Sarang Kematian

7. Kuasa Sang Nyonya Besar

8. Korpus Data Baron

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun