Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sumpah Sampah #9

22 September 2018   05:53 Diperbarui: 24 September 2018   07:07 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Tempat kelahiranku, Sungai Salapan masih bersaudara dengan Sungai Kaliran. Keduanya berada dalam satu Daerah Aliran Sungai Karagan. Berasal dari mata air Gunung Parung dan bermuara ke titik utama, pesisir utara.

Perkataan istriku tidak sepenuhnya salah. Seperti kebanyakan orang-orang yang tinggal di bantaran sungai, keluargaku memiliki andil besar terhadap banjir di Karagan. Kami sering melempari sungai dengan kantong-kantong plastik berisi sampah. 

Semasa kecil, aku suka mengamati pergerakan buntelan yang terbawa arus hingga tersangkut di bar screen. Di jeruji berlumut itu, sampah-sampah bersarang. Bersaksi dan menjadi bukti ketidakpahaman orang-orang.

Menunggu vonis hukuman alam.

"Bukan cuma kami lho penyebab banjir. Dari jembatan itu, mobil-mobil juga melempar sampah ke sungai. Orang kaya, berpendidikan seperti mereka juga buang sampah sembarangan kan. Kenapa kami saja sih yang disalahkan?" ujar seorang perempuan setengah baya saat acara penyuluhan sanitasi lingkungan. Riuh, seluruh warga Sungai Kaliran mendukung pernyataannya.


"Betul itu! Padahal kalau banjir, kami yang terendam duluan."

"Rakyat kecil mah memang selalu kebagian yang tidak enak saja!" celetuk warga lainnya.

Jengah, aku diam-diam beringsut menjauh. Manusia memang terlahir dengan sejuta cadangan pembelaan. Mencari-cari jalan untuk menjauhkan diri dari sasaran tembak. Hingga akhirnya, menemukan kembali garis batas pengakuan, lantas memohon pengampunan.

Segalanya berakhir pada permulaan.

Dari kejauhan, aku melambai pada seorang pria tua. Ia menjadi sopir kantor walikota selama lebih dari dua dekade. Membawa-bawa senja di runcing matanya, ia selalu bekerja sepenuh jiwa. Terikat oleh sejarah hidup yang kurang lebih sama, ia sudah kuanggap keluarga tanpa akta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun