Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sumpah Sampah #9

22 September 2018   05:53 Diperbarui: 24 September 2018   07:07 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku terjerembap di lubang waktu, menuju masa lalu. Kulihat, ibuku panik menyelamatkan barang-barang. Adikku yang masih balita menangis dalam dekapan. Aku dan teman-teman melarikan diri dari penderitaan. Memilih bersenang-senang, berenang-renang.

Kami tertawa bahagia saat tersangkut barang-barang hanyut. Sebelah sandal jepit, mainan rusak, bahkan jemuran tetangga. Menyaksikan kucing-kucing berenang. Tikus-tikus berpegang erat pada sebilah kayu mengambang. Dan jika beruntung, ada pula buaya dan ular sebagai bahan membuat keributan.

Hidup sesederhana mengubah bencana menjadi bercanda.

"Alhamdulillah, hujan sudah reda," ucap syukur seorang warga. Menarik kembali fokus pikiranku ke tepi sungai Kaliran. Meninggalkan nostalgia, terendapkan.

Bagai menyibak tirai panggung, perlahan, gumpalan abu-abu berarak menjauh. Langit memberi kami kesempatan untuk berbenah. Mengingat hutang-hutang masa laluku yang belum tuntas, aku segera mengerahkan warga, menjajaki sungai, dan menyingkirkan gunungan sampah yang mengadang aliran air menuju muara.

"Wah, Bapak Walikota yang baru ini baik ya. Mau bersih-bersih sama warga tanpa mengundang wartawan," ujar Ketua RW disambut tawa orang-orang. Kekhawatiran menguap tanpa sisa. Damai berderap hadir di dalam ramai.


Menentramkan, tapi tebersit rasa kehilangan. Sosok Rivan tidak lagi tampak duduk manis di pojok warung tenda. Rivan tidak ada di antara gerombolan anak-anak kampung Kaliran. Rivan tidak ada di mana-mana. Rasa takut menyergapku hingga sulit mengendalikan detak jantung.

"Anak saya mana?" tanyaku pada Pak Roy. Ia mengedarkan pandangan dengan mata membelalak panik. Beberapa orang ikut celingukan. Aktivitas pengerukan sampah, beralih ke pencarian Rivan.

Orang-orang berkeliling, berteriak-teriak memanggil namanya. Anak-anak kampung mengaku tak melihat Rivan lagi selepas hujan mulai reda. Seluruh tubuhku seperti tersengat listrik. Kaku, gemetar, tapi tak mampu berhenti bergerak.

Aku terpeleset lumpur. Terbenam setengah pada kolam sampah di bawah jeram. 

Pandanganku mengabur kala melihat jaket merah Rivan mengambang tanpa pemiliknya. Tak peduli bau menyengat dan beling-beling menggoresi kulit. Aku mengaduk-aduk sampah laiknya orang kesetanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun