Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Menggugat Rasa Percaya

13 September 2018   20:10 Diperbarui: 15 September 2018   16:56 2048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamu bertanya hening, aku menjawab geming.

***

Aku tumbuh besar bersama mereka yang jauh dari rumahnya. Kota itu tidak pernah menjadi kampung halaman. Sepanjang garis pantai disesaki janji kehidupan. Setiap mata digenangi kerinduan. Setapak jalan, hanya ada keterasingan.

Lautan terlalu lelah menanggapi kami berkeluh kesah. Ia tampak sangar karena dipaksa menjadi pekerja. Memberi makan reservoir-reservoir kelaparan. Sementara di waktu luang, harus mengasuh ikan-ikan dan terumbu karang. Belum terhitung membersihkan tumpahan minyak yang terombang-ambing seperti harapan.

Nasib langit tidak lebih baik. Ia patah hati karena bintang terus sembunyi. Selebihnya, bulan terlalu sendu seorang diri. Menemani jiwa-jiwa kesepian yang meringkuk di pelataran taman. Aku cemas jika suatu hari, ia memutuskan untuk mati.

Pernah suatu pagi, kapal berlabuh membawa orang-orang dari pulau jauh. Rahim transmigran melahirkan rumah-rumah dan pusat perbelanjaan. Beruntung, seorang perempuan masih mau melahirkan aku. Sebuah keluarga pengembara di muara utara.

Aku hidup di rumah mungil tanpa dinding belakang. Dimana halal haram tidak pernah menjadi perdebatan. Domino, kartu remi, dan dadu-dadu. Aku bernaung di bawah ambiguitas makna polisi yang menggemari hasil judi.

Aku belajar bicara melalui dusta-dusta. Aku membuat origami dari lembaran kupon putih bekas. Aku mengenal probabilitas dengan taruhan bola.

Aku tidak dibesarkan oleh mimbar-mimbar. Kamu sebut kriminal yang aku pahami sebagai kelakar. Rumahku serupa suaka bagi orang-orang dengan kebiasaan -yang kau sebut- paling nista.

Di tempat seperti itu, kebenaran tidak disajikan sebagai kudapan. Sejak peta satu-satunya hanya mengarah ke neraka, aku harus mencari dan harus menyesatkan diri.

Jika sudah begitu, percaya adalah barang mewah yang tak mampu aku beli.

Percaya bagai prasasti yang aku simpan sendiri.

Apakah kamu sudah mengerti?

***

Jakarta, 10 Agustus 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun