Dalam sebuah novel pasti terdapat unsur sosial yang memberi kesan pergaulan ataupun budaya yang hadir di dalam novel tersebut, dalam novel ini adapun latar sosial yang tergambarkan adalah pergaulan yang sangat berbeda antara masyarakat di daerah Dukuh Paruk dengan daerah di luar Dukuh Paruk yakni daerah Dawuan, perbedaannya terletak pada cara bergaul dan tata berbahasa masyarakatnya, jika di daerah Dukuh Paruk berbicara cabul dan berkata kasar adalah hal yang biasa saja beda halnya dengan di daerah Dawuan, hal semacam itu sudah seperti hal yang sangat berdosa dan haram hukumnya apabila dilaksanakan.
Sudut pandang yang digunakan oleh Pengarang dalam penulisan novel "Ronggeng Dukuh Paruk" ini adalah menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama seperti adanya kata "aku" dan sudut pandang pengganti orang ketiga baik dalam cerita maupun diluar cerita. Bukti pengarang menggunakan kata ganti orang ketiga adalah seperti adanya kata " dia dan --nya" dan menyebutkan nama tokoh secara langsung. Adapun yang menjadi bukti dapat dilihat dalam kutipan berikut ;
Aku Rasus, anak yang merasa paling malang karena Emak lenyap tanpa kepastian.
Baginya, memenuhi permintaan Srintil selalu menyenangkan. Maka dia berbalik, menoleh kiri-kanan mencari sebatang pohon bacang.
Cara atau tutur bahasa pengarang dalam menyampaikan novel yang dibuat bisa kita sebut sebagai gaya bahasa, dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk  ini kita bisa melihat pengarang membawakan gaya bahasa yang keseluruhannya bisa dipahami meski tak jarang adada beberapa kata atau kalimat yang jarang didengar hal ini dikarenakan dalam beberapa bagian dalam novel ini beberapa kali ditemui kata-kata yang menggunakan bahasa daerah seperti kutipan berikut ;
"Yah, Srintil. Bocah kenes, bocah kewes. Andaikata dia lahir dari perutku!"
 Ana kidung rumeksa ing wengi
 Teguh ayu luputing lara
 Luputa bilahi kabeh
 Jin setan datan purun
 Paneluhan datan ana wani