Untuk hal sandang kami dibantu oleh warga sekitar.
      Aku merindukan rumah kayu manis itu, rumah kayu yang satu-satunya di kampung ini.
***
      Tidak biasanya Nenek mengajakku keluar malam hari. Katanya bosan, di rumah Bang Redo dan orang tuanya sedang keluar ada urusan.
      Kami berjalan menuju gazebo di pinggir pantai. Selendang yang melingkar di leher Nenek berkibar indah diterpa angin.
      Kami duduk dan menikmati keindahan malam hari ini. Bulan purnama sedang bersinar terang, bulat nan menawan. Langit bersih tanpa awan dihiasi bintang gemerlap dengan jumlah tak terhitung. Tidak ada kesan seram sama sekali. Laut kini berubah menjadi cermin, memantulkan keindahan langit.
      Aku bersyukur, perlahan kesedihan Nenek mulai memudar. Nenek terus mengajakku bicara tentang masa lalunya dan menanyakan beberapa hal tetang aku dan keluargaku. Di sela-sela orbolan, aku ciptakan lelucon, berharap malam ini menjadi peristiwa yang istimewa bagi Nenek meski hanya jalan-jalan dan menikmati pantai.
      Nenek mengajakku maju mendekati bibir pantai. Semakin maju, hingga kaki disentuh oleh buih-buih ombak. Dingin ... tapi aku suka.
"Bagaimana perasaanmu dengan air ini?" tanya Nenek.
"Buihnya banyak, dingin, tapi aku suka."
"Nah begitulah Nduk jadi orang harus bisa disukai oleh banyak orang. Caranya kita berusaha berbuat baik, ya ... sebanyak buih ini. Terkadang kita tidak lepas dari kesalahan dan mungkin juga menyakiti orang, tetapi teruslah berbuat baik. Seperti air ini rasa dingin mungkin tidak kamu suka tetapi ada buih sebanyak ini yang membuatmu kagum dan suka melihat dan rela basah karenanya."