Mohon tunggu...
Humaniora

Inikah yang Dinamakan Kemajuan?

23 April 2016   23:20 Diperbarui: 23 April 2016   23:40 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika merasa penat dan suntuk dengan perjalanan hidup, beberapa orang sengaja menyendiri, lari dari aktivitas yang padat, bermain ke alam bebas, pergi ke tempat yang luas untuk dapat melihat ciptaan Allah yang begitu cantik dan indah. Ada yang pergi ke gunung, menikmati dinginnya kabut ketika malam, melihat alam dari puncak yang tinggi dan curam. 

Ada yang pergi ke lautan lepas, memandang dan mendengar teriakan deburan ombak. Ada yang pergi ke hutan, mendengar angin bertelisik, melihat berbagai spesies yang semuanya hasil karya Sang Pencipta. Semua itu dilakukan untuk melihat dan memperhatikan alam yang berada di bawah, samping, atau di depan kita, nikmat Allah yang sungguh besar dan tidak pernah berhenti.

Menyendiri seperti itu terkadang terasa lebih baik dibanding terus-menerus melihat keramaian kota, melihat hiruk-pikuk aktivitas perkotaan, macetnya lalu lintas dan padatnya penduduk yang menambah suasana kota semakin ‘kemrungsung’. Ditambah pula masalah-masalah yang sedang memenuhi ruang kepala, yang memaksa hati untuk lebih bersabar, dan membuat pikiran harus terus bekerja, berputar mencari solusi atas permasalahan tersebut.

Jika hidup itu memilih dan sejenak menghindar dari kesibukan adalah suatu pilihan yang dapat dipilih, maka cobalah sesekali pergi ke alam sekitar. Pergi ke tempat lapang yang luas, yang seakan tak berujung. Coba rasakan betapa hina dan kecilnya diri kita. Lihatlah bunga-bunga yang sedang bermekaran, indah, harum dan seakan memaksa orang yang melihatnya ingin sekali memetiknya. 

Lihatnya langit biru yang amat luas tak bertepi, awan yang berarakan, bukit-bukit nan tinggi, sawah-sawah yang begitu hijau, gemericik air yang mengalir mengikuti derasnya arus sungai, atau air yang mengalir menuruni curamnya jurang dan serempak menetes terus-menerus ke tumpukan batu-batu tua yang dipenuhi lumut-lumut hijau. 

Lihatlah langit malam, gugusan bintang yang membentuk konstelasi berbagai bentuk, bulan yang begitu terang, dan rasakan hembusan angin yang seakan menyanyikan sajak kedamaian. Semua itu adalah bentuk didikan, mendidik diri untuk selalu menenggelamkan rasa takabur yang muncul dari hati. Allah begitu sempurna, tidak ada tandingan, sangat mudah, sangat teratur, dan sangat piawai mendesain alam yang indah ini.

Tetapi terkadang orang tenggelam dengan ‘kemajuan’ yang ditawarkan di perkotaan. Keramaian, kemewahan, rumah bagus dengan segala fasilitas, gedung-gedung yang menjulang tinggi, dan tak ketinggalan mobil-mobil keluaran baru yang semakin hari semakin berjejal dan bersaing memenuhi jalanan. Tetapi terkadang semua itu hanya akan membuat orang lupa akan kelalaiannya. Semua sepertinya tertutup oleh gemerlap ‘lampu-lampu’ perkotaan. Rumah tidak lagi menjadi tempat yang menenangkan. 

Walaupun rumah begitu ramai dengan segala asesoris dari depan hingga belakang tetapi rasa sepi begitu kental. Bagaimana tidak, banyak orang yang lebih memilih untuk mencari kesenangan dan ketenangan di luar rumah. Seorang ayah atau suami, keluar untuk bekerja dari pagi buta, pulang larut malam, hingga tak sempat untuk mendengar keluh kesah keluarga yang dipimpinnya. Seorang istri atau ibu yang menuntut keadilan, merasa berhak pula melakukan hal yang sama, mencari kesenangan dan ketenangan di luar. Hingga tak mau ketinggalan anak-anaknya, sudah berkawan sendiri-sendiri. Itu yang sering orang-orang sebut sebagai kemajuan. 

Ketika nasehat orang-orang terdahulu, ajaran agama, adab dan kesopanan dianggap sebagai sesuatu yang kuno. Hingga lambat-laun, cepat atau lambat, penyesalan, ketidaktenangan, dan kelalaian datang menghampiri. Semoga kemajuan yang kita cari bukan seperti itu. Semoga kemajuan yang selalu diiringi dengan kesederhanaan. Kemajuan yang dapat mengangkat derajat orang-orang di dalamnya, bukan semakin menjadikan umat larut dalam kelalaian. 

Semoga kemajuan yang dapat menghidupkan kembali konsep sederhana dalam rumah tangga. Suami, istri, ayah, dan ibu yang saling mengerti bahwa tanggungjawab yang mereka pikul adalah sama-sama besar. Hingga akhirnya rasa kesederhanaan akan kembali hidup di tengah kemajuan zaman. Ya memang, setiap kemajuan itu memaksa adanya pengorbanan yang besar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun