Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wirausaha

Penyintas Fobia Mantan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Surat dari Wei Liang

18 Oktober 2025   16:28 Diperbarui: 18 Oktober 2025   16:28 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salmah-Wei Liang (gambar dibuat dengan Gemini AI)

Udara sejuk pagi ini masih setia menemani usia senjaku, embun masih bertengger di ujung daun melati yang tumbuh di pot tanah liat peninggalan ibuku.

Aku duduk di teras rumah, memandang langit yang perlahan berubah warna. Cangkir teh hangat di meja mengepulkan aroma yang menenangkan. Dan tanganku yang sedikit gemetar, rasanya masih sanggup meraih cangkir itu. Semakin dekat cangkir itu, semakin tercium pula aroma masa lalu yang coba menembus waktu.

Kala itu usiaku masih enam belas tahun. Ya, saat itu di tahun 1966, di mana hati seusiaku mudah bergetar, tapi dunia sedang bergolak. Di jalan-jalan, suara sepatu tentara bergema. Di radio, kabar politik berganti setiap hari.

Dan di balik hiruk-pikuk itu, di sudut jalan Pecenongan, ada sebuah toko kelontong kecil bercat hijau pudar. Di sanalah pertama kali aku bertemu dengannya, Wei Liang.

Liang pemuda yang pandai berkawan. Tangan-tangannya kasar karena pekerjaan, namun setiap kali menyerahkan sekantong gula atau kain batik pesanan ibuku, ada ketulusan yang tak bisa kujelaskan dalam kata.

Entah mengapa setelah puluhan tahun berlalu, pertemuan pertama kami masih saja menempel di benakku seperti debu di jendela. Tatapan matanya yang hangat, masih dapat kurasa setiap kali kumengingat dirinya.

Kami sering bertemu diam-diam di tepi Kali Besar, saat sore mulai condong ke barat. Liang bercerita tentang mimpinya, tentang keinginannya belajar ke luar negeri, dan impiannya membangun toko yang lebih besar.

Saat ia bercerita, aku hanya mendengarkan, terkadang ikut tertawa kecil, dan terkadang menatap mata sipit dan wajahnya diam-diam sambil berdoa agar waktu berhenti saat itu.

Suatu sore, hujan turun cukup deras. Aku berteduh di serambi tokonya, lalu Liang menyerahkan sebuah payung rotan padaku. "Kalau kau memakai payung ini, anggap saja aku ada di sampingmu," ujarnya pelan.

Aku tersipu, jantungku berdetak lebih cepat. Saat jarinya menyentuh jemariku, seolah hujan di luar ikut menari, menutupi debar yang sulit kusembunyikan. Tak ada lagi suara kendaraan, tak ada kabar politik, hanya detak dua hati yang sedang jatuh cinta dalam diam.

Sejak hari itu, setiap kali kami bertemu, ada keberanian baru yang tumbuh di antara rasa takut. Kadang ia memberiku selembar kertas berisi kata-kata Mandarin yang ia ajarkan, kadang aku menyelipkan bunga melati di saku bajunya.

Tak ada janji di antara kami, tapi setiap tatapan seolah sudah berkata banyak, bahwa cinta bisa lahir dan tumbuh bahkan di tengah keterbatasan. Bahwa dua dunia bisa bersinggungan tanpa harus saling melukai.

Namun Batavia bukan kota yang mudah bagi cinta seperti kami. Ayahku, seorang pejabat kelurahan yang sangat menjaga nama baik keluarganya, melarangku menemui Liang lagi. "Kau anak pribumi, Salmah." ucapnya suatu malam dengan tegas. "Tak pantas jatuh cinta pada orang asing yang bahkan tak paham tanah ini!"

Aku tak berani menjawab. Aku hanya menangis di balik pintu, meremas surat kecil yang ditulis Liang seminggu sebelumnya. Dalam surat itu, Liang menulis, "Jangan pernah takut mencintai, meski dunia menolak."

Beberapa bulan kemudian, Liang pergi.
Katanya ia mendapat kesempatan belajar ke Singapura. Katanya ia akan kembali. Tapi surat terakhir yang kuterima hanya berisi satu kalimat pendek, "Jika takdir baik ada padaku, aku akan menemuimu lagi."

Batavia kini telah menjelma menjadi Jakarta. Gedung-gedung tinggi berdiri menggantikan toko tua, dan jembatan tempat kami dulu berbagi cerita kini sudah dipenuhi kendaraan. Namun setiap kali pagi datang, dan aroma teh melati menguar, aku merasa seolah langkah Wei Liang masih bisa kudengar di antara desir angin.

Aku masih memandang langit pagi, mungkin Liang sudah menjadi seseorang yang besar di negeri yang jauh, dan mungkin ia telah melupakan wajahku.

Tapi kenangan tak pernah benar-benar mati, ia hanya beristirahat di sudut hati yang tenang. Dan yang ku tahu, bahwa cinta yang tulus tidak akan pernah memudar, ia hanya berubah bentuk menjadi doa yang terus hidup bersama waktu.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun