Dunia hari ini terasa semakin cepat.
Dari Senin ke Ahad, jaraknya seperti hanya sekejap. Entah karena kesibukan yang membuat waktu bergegas, atau memang umur dunia sudah di ambang batas?
Kita sering merasa lelah, bahkan di hari yang seharusnya menjadi waktu untuk beristirahat. Justru di hari itulah kita memaksakan diri untuk terus berlari, menyelesaikan sesuatu yang bahkan kita sendiri tak tahu kapan akhirnya. Tanpa sadar, kita telah kehilangan sesuatu yang sebenarnya dibutuhkan oleh diri: ketenangan, kehadiran, kesejatian.
Lalu hari ini, bisakah kita memberi izin kepada diri sendiri untuk... melambat?
Padahal, melambat sama sekali bukan berarti mundur---juga bukan pertanda tertinggal. Melambat justru bentuk keberanian: keberanian untuk memberi ruang bagi diri sendiri, untuk mendengar suara hati yang selama ini kerap kita tepis demi mengejar dunia yang terus berlari.
Segala sesuatu ada batasnya, termasuk jiwa dan raga kita dalam memikul beban. Saat mereka meminta haknya untuk berhenti, yang rapuh bukan hanya semangat... tapi juga makna dari semua yang kita jalani.
Maka sesungguhnya, melambat juga adalah bentuk kasih kepada diri. Melegakan paru-paru agar bernapas dengan semestinya, memberi waktu kepada hati untuk bersimpuh di hadapan Rabb-nya---tanpa tergesa, tanpa terburu.
Allah berbicara melalui ayat cinta-Nya dalam Surah Al-Furqan ayat 47:
"Dan Dia-lah yang menjadikan malam untukmu sebagai pakaian, dan tidur sebagai waktu istirahat, serta menjadikan siang untuk bangun berusaha."
(QS. Al-Furqan: 47)
Bila kita renungkan, ayat ini mengajarkan ritme kehidupan yang seimbang---hidup yang sesuai porsi. Siang adalah waktu untuk berjuang di medan amal kita, malam adalah waktu untuk beristirahat dan mengembalikan kekuatan. Allah tidak pernah menuntut manusia untuk terus berlari. Ada fasenya untuk diam. Ada ruang untuk tenang. Ada momen untuk kembali kepada diri... dan kepada-Nya.
Namun dunia hari ini sering kali membalikkan tatanan itu. Malam dihabiskan bersama layar dan tuntutan pekerjaan. Hati dijejali ambisi. Lelah dianggap kelemahan. Tidur seolah kemewahan yang sia-sia.