Mohon tunggu...
Nora Afnita
Nora Afnita Mohon Tunggu... Dosen / Asisten Ahli/ IAI Sumbar Pariaman

hobi membaca dan menulis, /kepribadian mau belajar secara terus menerus/ topik favorit pendidikan dan psikologi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Budaya Akademik, Etos Kerja dan Kontribusi Agama dalam Kehidupan Politik

4 September 2025   11:43 Diperbarui: 4 September 2025   11:43 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Budaya Akademik, Etos Kerja, dan Kontribusi Agama dalam Kehidupan Berpolitik

By: Nora Afnita, S.Pd,I, M.Pd

Pendahuluan 

Budaya akademik, etos kerja, dan politik merupakan tiga aspek fundamental yang sangat menentukan arah perkembangan manusia modern. Ketiganya memiliki keterkaitan erat dengan nilai-nilai agama yang berperan sebagai pedoman moral dan etika dalam kehidupan. Dalam ranah pendidikan, budaya akademik tidak hanya berkaitan dengan proses penguasaan ilmu pengetahuan, tetapi juga menyangkut pembentukan karakter, integritas, dan sikap kritis yang bertanggung jawab. Tilaar (2002) menyatakan bahwa budaya akademik merupakan ruh pendidikan tinggi yang menjadi fondasi bagi lahirnya insan berilmu dan beradab. Dalam Islam, menuntut ilmu dipandang sebagai ibadah, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an (QS. Al-'Alaq: 1--5) dan hadis Nabi yang menyatakan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim (HR. Ibnu Majah). Hal ini menunjukkan bahwa budaya akademik yang berlandaskan agama bukan hanya mengejar pencapaian intelektual, melainkan juga integrasi nilai spiritual dan moral.

Dalam dunia kerja, etos kerja serta sikap terbuka dan adil menjadi kunci keberhasilan profesional maupun organisasi. Max Weber (1905) melalui karyanya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism menekankan bahwa etika religius memiliki pengaruh signifikan terhadap pembentukan etos kerja, disiplin, dan produktivitas. Dalam konteks Islam, bekerja dipandang sebagai bentuk pengabdian dan ibadah, sebagaimana firman Allah dalam QS. At-Taubah: 105 yang memerintahkan manusia untuk bekerja karena Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin akan melihat amal mereka. Selain itu, sikap terbuka (inklusif) dan adil merupakan bagian dari prinsip universal agama. Keterbukaan menjadi dasar bagi dialog, toleransi, dan kerjasama yang sehat (Habermas, 1984), sedangkan keadilan ditegaskan dalam QS. An-Nahl: 90 sebagai nilai fundamental yang harus ditegakkan dalam setiap aspek kehidupan.

Sementara itu, dalam kehidupan bernegara, politik membutuhkan kontribusi agama untuk menghadirkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Politik yang dilepaskan dari nilai moral berpotensi melahirkan praktik kekuasaan yang otoriter dan koruptif. Sebaliknya, politik yang berlandaskan nilai agama menekankan prinsip amanah, syura (musyawarah), dan maslahah (kemaslahatan). John Rawls (1971) dalam A Theory of Justice menekankan pentingnya keadilan sebagai prinsip utama dalam tatanan masyarakat, yang relevan dengan konsep keadilan sosial dalam Islam (QS. An-Nisa: 58). Oleh karena itu, agama tidak hanya menjadi sumber legitimasi moral dalam politik, tetapi juga berfungsi sebagai kontrol etis terhadap praktik kekuasaan.

Dengan demikian, integrasi agama dalam budaya akademik, etos kerja, dan politik mencerminkan sebuah paradigma holistik yang menyeimbangkan aspek intelektual, profesional, dan sosial dengan nilai spiritual dan moral. Integrasi ini diharapkan dapat melahirkan masyarakat yang berilmu, produktif, adil, dan berkeadaban tinggi.

Menurut Tilaar (2002), budaya akademik merupakan ruh yang menjiwai proses pendidikan tinggi, sebab tanpa budaya akademik yang kuat, pendidikan hanya akan melahirkan lulusan yang berorientasi pada gelar, bukan pada kualitas keilmuan dan keadaban. Budaya akademik ini berakar pada tradisi keilmuan yang menekankan kejujuran, integritas, kebebasan berpikir, serta penghargaan terhadap perbedaan pendapat. Dalam konteks Islam, hal ini sejalan dengan perintah Allah dalam QS. Al-'Alaq: 1--5 yang mendorong manusia untuk membaca dan belajar, serta QS. Az-Zumar: 9 yang menegaskan keutamaan orang berilmu. Dengan demikian, budaya akademik tidak hanya bersifat rasional-empiris, tetapi juga spiritual, yang menempatkan ilmu sebagai jalan menuju kemaslahatan dan kedekatan dengan Allah.

Sementara itu, Weber (1905) melalui karyanya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism menunjukkan adanya hubungan erat antara etika agama dengan pembentukan etos kerja. Etos kerja lahir dari nilai-nilai religius yang menekankan disiplin, tanggung jawab, dan kerja keras. Pandangan ini relevan dengan ajaran Islam, di mana kerja dipandang sebagai bentuk ibadah dan pengabdian, sebagaimana ditegaskan dalam QS. At-Taubah: 105. Etos kerja Islami tidak hanya mengedepankan produktivitas, tetapi juga kejujuran, keterbukaan, dan keadilan. Prinsip keterbukaan (tasamuh) mendorong lahirnya dialog dan toleransi, sedangkan prinsip keadilan ditegaskan dalam QS. An-Nahl: 90 sebagai landasan moral yang tidak boleh ditinggalkan dalam kehidupan sosial maupun profesional.

Dalam ranah politik, gagasan siyasah syar'iyyah dalam Islam menunjukkan bahwa agama memiliki peran aktif dalam menata urusan publik. Konsep ini menekankan pentingnya keadilan (al-'adl), amanah, dan musyawarah (syura) sebagai prinsip dasar kepemimpinan. Menurut al-Mawardi (1996) dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, politik dalam Islam bertujuan menjaga agama sekaligus mengatur urusan dunia untuk mencapai maslahah atau kemaslahatan umat. Hal ini sejalan dengan teori keadilan John Rawls (1971) dalam A Theory of Justice, yang menekankan bahwa keadilan harus menjadi prinsip utama dalam setiap tatanan sosial dan politik. Dengan demikian, agama tidak hanya menjadi sumber legitimasi moral, tetapi juga instrumen normatif dalam menciptakan tata kelola politik yang etis, transparan, dan berorientasi pada kesejahteraan bersama.

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, tulisan ini membahas tiga poin utama, yaitu: pertama, budaya akademik menurut perspektif agama; kedua, etos kerja yang dilandasi sikap terbuka dan adil; serta ketiga, kontribusi agama dalam kehidupan berpolitik. Ketiga aspek ini saling terkait dan menunjukkan bahwa agama berperan sebagai fondasi moral yang mampu menuntun manusia dalam mengembangkan kehidupan akademik, profesional, dan politik yang berkeadaban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun