Pertama, Menyalahkan Perempuan
Budaya patriarkhi, dimana menempatkan Perempuan sebagai kelas dua yang hanya berurusan dengan domestic, menjadi kuat karena sarat menggunakan nama 'agama', sehingga tidak punya ruang dari sisi aktualisasi dan harus mengikuti kemauan laki-laki. Belum hilang diingatan kita 'postingan closefriend' yang mengguncang jagad maya dengan kasus Arawinda Kirana, hingga Nissa Sabyan pada 2022, yang juga sangat menyiratkan 'semua kesalahan atas terjadinya perselingkuhan adalah perempuan' dan sangat tidak ditolerir oleh masyarakat. Akan tetapi hal ini menjadi berbeda perspektif jika terkait si 'laki-laki' baik dia di posisi pelaku ataupun korban, karena laki-laki adalah korban godaan perempuan. Mary Anne Ferguson dalam bukunya Images of Women in Literature (1973) menilai bahwa ini lekat dengan stereotype perempuan sebagai simpanan dan obyek seksual. Karenanya mereka yang sebagian besar menanggung sanksi sosial, yakni lewat pengecualian oleh masyarakat atau cancel culture. Kita terkadang lupa bahwa it takes two to tango. Sebuah relasi tentu tidak akan terjadi, kalau kedua pihak tidak sepakat untuk menjalin hubungan. Hanya saja laki-laki menerima sanksi sosial yang lebih kecil dibandingkan perempuan.
Kedua, Komentar Buruk di Luar Konteks
Seringkali kita temui di berbagai Tweets, IG ataupun Tik-Tok, muncul berbagai fyp yang digunakan oleh masyarakat menumpahkan kekecewaan kepada 'perempuan' yang dituduh sebagai pihak ketiga. Padahal seharusnya, platform media sosial dapat menjadi penguatan dan edukasi bagi sesama perempuan. Realita ini berbalik, tatkala si pihak ketiga dianggap menyakiti perempuan lain karena membangun relasi romantisme bersama laki-laki yang telah menikah.
Richard Whately, pertengahan abad ke-19. Whately menggunakan istilah "ad hominem" dalam hal tersebut yakni, strategi beretorika ketika orang menyerang orang lain lewat karakter, motif, atau ciri lain secara personal, di luar substansi argumen meskipun poin yang disampaikan punya premis yang berbeda.
Ketiga, Pasangan Sah dibandingkan dengan Selingkuhan
Dalam banyak kasus, seperti Arawinda, Nissa Sabyan, dan kasus Inara Rusli pada 2023 menjadi fenomena sosial, dimana para perempuan selingkuhan dibandingkan dengan istri sah. Perbandingan ini jelas secara fisik bahkan hingga karir. Perempuan selingkuhan yang kemudian bergelar pelakor jelas 'dinilai buruk' dan berhak menerima cacian karena sifat aslinya keluar.
Keempat, Modus Laki-laki Menghianati Istri Sah
Laki-laki seringkali tidak tersorot saat terjadi perselingkuhan, meskipun dia sebagai peran utama. Padahal perempuan yang menjadi selingkuhan terkadang tidak mengetahui bahwa laki-laki sudah beristri atau memiliki pasangan ataupun bahkan mengetahui namun dikemudian hari. Seringkali laki-laki menggunakan umpan 'curhatan', men-treatment perempuan yang menjadi target selingkuhannya dengan berbagai cara, mulai dari pemenuhan kebutuhan fisik, hingga pendidikan atau barang mewah. Hal ini dilakukan untuk 'mengambil kepercayaan' dan laki-laki bisa menceritakan privasinya.
Kita mungkin masih ingat serial 'Layangan Putus (2021), ketika Aris (Reza Rahadian), tak bisa menceraikan Kinan (Putri Marino), karena Aris sadar ada anak dan istri yang ditinggalkannya. Di saat yang sama Aris juga tak bisa meninggalkan Lydia (Anya Geraldine) karena menjadi pasangan seksual, dan sebaliknya Lydia tak bisa meninggalkan Aris karena dia adalah tempat berkeluh kesah.
Kelima, Modus 'Agama'.
Serial Bidaah (Broken Heaven)Â 2025, salah satu film spektakuler yang kental akan penyalahgunaan agama sebagai pintu masuk untuk menjalin relasi dengan Perempuan yang bukan pasangan sah oleh Walid Muhammad Mahdi Ilman (diperankan Faizal Hussein), pemimpin karismatik kelompok bernama Jihad Ummah.
Walid, menggunakan simbol agama untuk memanipulasi, menutupi penyimpangan, dan bahkan melakukan tindakan pseudo-perselingkuhan spiritual, melakui penyalahgunaan kekuasaan atas nama agama, kekerasan spiritual dalam rumah tangga, dan melanggengkan budaya patriarkhal melalui literasi agama dan figur kharismatik yang ia bangun.
Treatment Meminimalisir Perselingkuhan
Mencegah perselingkuhan bukan hal yang mudah, namun bukan berarti tidak bisa. Fye dan Mims (2018) Preventing Infidelity. The Family Journal: Counseling and Therapy for Couples and Families, menuliskan pendapatnya dalam melakukan pencegahan terjadinya perselingkuhan, diantaranya:
Pertama, Secure Attachment atau Ikatan Emosional
Ikatan emosional antar pasangan harus dibangun dan dipenuhi, baik secara fisik, emosional, dan biologis. Kegiatan bersama, mengobrol, hingga menjalani akhir pekan bersama, membangun keterbukaan, akan memberikan afirmasi positif dan empati kepada pasangan adalah cara efektif untuk membangun kedekatan dengan pasangan dalam bentuk ikatan emosional.
Kedua, Pemenuhan dalam Hubungan Seks
Kebutuhan seksual atau bilogis juga factor penting dalam membangun emosi positif. Relaksasi yang muncul, dapat memicu oksitosin 'hormon cinta' yang meningkatkan rasa kedekatan, kepercayaan, dan ikatan emosional antara pasangan (bonding glue). Aktivitas ini memicu dopamin, yaitu neurotransmitter yang terkait dengan kesenangan dan reward. Otak akan mengasosiasikan pasangan dengan perasaan bahagia dan memuaskan, sehingga meningkatkan ketertarikan emosional dan ketergantungan positif. Berikutnya, endorfin dilepaskan selama dan setelah berhubungan seksual, menciptakan efek relaksasi dan penghilang stress dan terakhir adalah Vasopresin (hormon loyalitas). Terutama pada pria, vasopresin dilepaskan setelah orgasme dan dikaitkan dengan ikatan jangka panjang dan perlindungan terhadap pasangan.