Komitmen merupakan fondasi dari sebuah hubungan. Lemahnya komitmen dalam menjaganya maka akan mengganggu tatanan dalam fondasi rumah tangga pasangan (Selterman, Garcia, & Tsapelas, 2020). Jika ini terjadi, maka 'a-romantic'Â yang justru kemudian muncul, sehingga membuat salah satu pasangan empty.
Keempat, Sexual Desire dan Ignorance
Hasrat seksual dengan variasi seks bagi sebagian laki-laki diakui menjadi hal penting dalam hubungan. Karena bagi laki-laki, sensional, validasi diri, narsisme, lingkungan, kesempatan menjadi kombinasi dari sexual desire bisa dimunculkan. Sedangkan perempuan ignorance atau perasaan diabaikan dan kurang kasih sayanglah yang menjadi penyebab mengapa melakukan perselingkuhan (Selterman, Garcia, & Tsapelas, 2019).
Ada apa dengan fenomena 'Selingkuh'?
Selingkuh pada dasarnya merupakan konsep yang sama tuanya, dimulai sejak 1250, sedangkan monogami sejak 1.000 tahun lalu, meskipun selama 75 tahun sebelumnya manusia lebih identik dengan selibat(https://magdalene.co/, 2022). Hal ini dijelaskan oleh Christopher Opie dalam Male infanticide leads to social monogamy in pirates (2013), bahwa ikatan antar manusia dilakukan untuk melindungi anak-anak mereka. Pasalnya, ada ancaman pembunuhan bayi, membuat laki-laki bertahan dengan seorang perempuan, supaya bisa melindungi dari laki-laki lain. Dari kontrak sosial ini kemudian dikukuhkan oleh agama sebagai ikatan institusi yang memiliki berbagai aturan termasuk soal 'kesetiaan' dengan pasangan.
Fenomena yang hari ini viral karena kasus CEO Astronomer Andy Byron dengan Chief HR Astronomer Kristin Cabot terciduk pada saat konser Coldplay di Amerika Serikat, kasus Norma, dan yang sangat booming salah satu film Garapan Hanung bramantyo 'Ipar adalah Maut' yang telah tayang pada 2024 lalu dan menjadi salah satu film terlaris di Indonesia dengan capaian 3 juta penonton dalam 2 pekan, menjadi fenomena sosial di masyarakat (https://umj.ac.id/, 2024).
Di Indonesia, kasus perselingkuhan tidak ada data yang pasti. Namun menurut salah satu situs kencan 'Just Dating', tercatat 40% pria dan wanita Indonesia mengaku pernah berselingkuh.  Indonesia bahkan menduduki peringkat tertinggi kedua di Asia Tenggara, setelah Thailand (https://ntbsatu.com/2025). 34% dari hasil riset dari Forbes Advisor, juga menyebut perselingkuhan ataupun hubungan lain di luar pernikahan menjadi penyebab perceraian (https://www.cnbcindonesia.com/, 2024).
Dampak dari Budaya Patriarkhi dan Agama
Tahun 2017 lalu, dalam pendampingan sebuah kasus, ada hal yang berbeda yang saya temukan. Sebagai aktivis Perempuan dan lingkungan pada saat itu membawa saya pada situasi yang tidak mudah untuk disuarakan, meskipun bagi sesama Perempuan. Dalam perselingkuhan seringkali akan menemukan dua sudut pandang antara korban dan pelaku. Bisa keduanya adalah antara yang menjadi perselingkuhan ataupun pasangan yang sah adalah sama-sama korban. Bicara dari konteks korban juga sangat luas, tak hanya perempuan namun juga laki-laki bisa menjadi korban. Sama halnya saat bicara dari perspektif pelaku, bisa Perempuan ataupun laki-laki.
Kisah nyata ini dialami oleh seorang perempuan sebut saja 'M' yang telah menikah selama 5 tahun. Awal pernikahan tentu sangat membahagiakan hingga datanglah 'selingkuhan' dari sang suami yang mengaku telah hamil dan perempuan ini yang merupakan seorang mahasiswi tempat dimana suaminya bekerja, mau dihamili karena ada alasan sebagai bentuk perjanjian untuk dinikahi, menjadi istri kedua, dan tentu 'ingin bertaubat dari dunia malam' yang selama ini digelutinya.
Kisah ini tentu hanya sepenggal, dimana perselingkuhan yang seharusnya adalah persoalan fenomena sosial, ditarik dalam ranah 'agama' sekaligus 'budaya patriarkhi' yang membuat korban terjebak dalam 'rasa bersalah, rasa pengabdian, rasa ingin memberikan hal terbaik pada pasangan sah namun dengan cara yang salah. Dampaknya adalah: