Mohon tunggu...
Nor Qomariyah
Nor Qomariyah Mohon Tunggu... Praktisi Sustainability yang fokus pada dekarbonisasi industri, pengelolaan emisi, dan penerapan green policy. Melalui tulisan di Kompasiana, saya mengajak pembaca memahami tantangan dan peluang menuju industri hijau yang kompetitif secara global.

Berbagi wawasan dan strategi menuju masa depan industri yang rendah emisi dan berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Selingkuh dalam Pusaran Budaya Patriarkhi Sosial dan Agama

20 Juli 2025   19:50 Diperbarui: 21 Juli 2025   00:16 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Selingkuh (Sumber: https://www.istockphoto.com/id/2015)

You must not know 'bout me.
I can have another you by tomorrow.
So don't you ever for a second get.
To thinking you're irreplaceable.
So go ahead and get gone (Irreplaceable-Beyoncé, 2013).

Salah satu penggalan lirik lagu Beyonce yang dirilis pada Februari 2013, secara garis besar menyiratkan bagaimana perempuan harus berani meninggalkan hubungan yang tak lagi sehat, apalagi jika sudah dikhianati/diselingkuhi oleh pasangannya. Pesan pemberdayaan bagi diri perempuan sendiri dan menyadari bahwa ada 'value' dalam diri perempuan menjadi pesan kuat untuk keluar dari situasi 'rasa sakit' karena disakiti pasangan.

Setidaknya lagu ini masih sangat relevan dengan fenomena yang hari ini masih terus terjadi dengan topik hangat 'Selingkuh'.  Kata ini begitu akrab kita dengar di telinga, bahkan secara visual seringkali muncul diberbagai platform media sosial. Begitu membuka Instagram, ataupun tik-tok ada ratusan kali fyp muncul melalui handphone yang saya gunakan. Beragam kasus, mulai dari yang masih dalam status berpacaran, ataupun yang sudah menikah, bahkan dalam konteks tertentu dengan pasangan yang memiliki orientasi seks berbeda dengan kita.


Selingkuh dalam Bahasa hukum disebut dengan "overspel", yakni tindakan seseorang yang telah 'menikah' melakukan hubungan dengan orang lain yang berada di luar pernikahannya. Perselingkuhan juga diatur dalam undang-undang KUHP No. 1 Tahun 2023, pasal 411 dimana 'perselingkuhan dapat dikenai sanksi pidana, penjara ataupun denda'.  


Dalam kata lain yang lebih luas, selingkuh tidak hanya dinilai secara fisik, namun juga terdiri dari berbagai jenis perselingkuhan, seperti perselingkuhan secara 'emosional, online bahkan ada perselingkuhan yang bersifat makro, karena melibatkan seluruh elemen keluarga, lingkungan kerja, lingkungan rumah tangga hingga lingkungan pergaulan sosial.


Hertlein, Wetchler, dan Piercy (2005), Infidelity: An overview. Journal of Couple & Relationship Therapy, menyebut bahwa perselingkuhan terdiri dari perselingkuhan secara seksual, secara emosional, dan kombinasi antara seksual dan emosional. Perselingkuhan yang terjadi secara seksual ditunjukkan dengan adanya hubungan seksual dengan orang lain. Perselingkuhan secara emosional dicirikan dengan kedekatan emosional dengan pasangan selingkuh yang dapat meliputi perilaku saling berbagi, memahami, friendly, self-esteem yang layaknya pasangan. Perselingkuhan secara emosional dilakukan tanpa adanya perilaku berhubungan seksual antara pasangan selingkuh. Sedangkan secara kombinasi antara seksual dan emosional adalah dilandasi rasa kepemilikan antar pasangan selingkuh, sehingga secara emosional telah terdapat kedekatan psikologis, dan tentu memiliki rutinitas seksual seperti layaknya 'pasangan yang sah'.


Semua bentuk perilaku selingkuh baik emosional dan seksual dilatarbelakangi oleh berbagai faktor yang tentunya mendorog seseorang untuk melakukannya. Beberapa hal yang bisa menjadi faktor pendorong adalah sebagai berikut:


Pertama, Expectation

Seringkali antar pasangan tidak saling terbuka terhadap ekspektasi yang diinginkan oleh masing-masing pihak. Sehingga ketidakpuasan muncul dan pasangan justru mendapatkan part of expectation-nya dari luar pasangannya, baik secara fisik, batin maupun emosional (Selterman, Garcia, & Tsapelas, 2019).


Kedua, Satisfaction 

Rendahnya kepuasan dalam hubungan, sering timbul konflik dan saling tidak terbuka secara komunikasi menjadikan pasangan juga melakukan perselingkuhan, dimana diebutkan oleh (Thompson, 1983) dengan sebutan deficit model of infidelity.


Ketiga, Commitment 

Komitmen merupakan fondasi dari sebuah hubungan. Lemahnya komitmen dalam menjaganya maka akan mengganggu tatanan dalam fondasi rumah tangga pasangan (Selterman, Garcia, & Tsapelas, 2020). Jika ini terjadi, maka 'a-romantic' yang justru kemudian muncul, sehingga membuat salah satu pasangan empty.


Keempat, Sexual Desire dan Ignorance

Hasrat seksual dengan variasi seks bagi sebagian laki-laki diakui menjadi hal penting dalam hubungan. Karena bagi laki-laki, sensional, validasi diri, narsisme, lingkungan, kesempatan menjadi kombinasi dari sexual desire bisa dimunculkan. Sedangkan perempuan ignorance atau perasaan diabaikan dan kurang kasih sayanglah yang menjadi penyebab mengapa melakukan perselingkuhan (Selterman, Garcia, & Tsapelas, 2019).


Ada apa dengan fenomena 'Selingkuh'?


Selingkuh pada dasarnya merupakan konsep yang sama tuanya, dimulai sejak 1250, sedangkan monogami sejak 1.000 tahun lalu, meskipun selama 75 tahun sebelumnya manusia lebih identik dengan selibat(https://magdalene.co/, 2022). Hal ini dijelaskan oleh Christopher Opie dalam Male infanticide leads to social monogamy in pirates (2013), bahwa ikatan antar manusia dilakukan untuk melindungi anak-anak mereka. Pasalnya, ada ancaman pembunuhan bayi, membuat laki-laki bertahan dengan seorang perempuan, supaya bisa melindungi dari laki-laki lain. Dari kontrak sosial ini kemudian dikukuhkan oleh agama sebagai ikatan institusi yang memiliki berbagai aturan termasuk soal 'kesetiaan' dengan pasangan.


Fenomena yang hari ini viral karena kasus CEO Astronomer Andy Byron dengan Chief HR Astronomer Kristin Cabot terciduk pada saat konser Coldplay di Amerika Serikat, kasus Norma, dan yang sangat booming salah satu film Garapan Hanung bramantyo 'Ipar adalah Maut' yang telah tayang pada 2024 lalu dan menjadi salah satu film terlaris di Indonesia dengan capaian 3 juta penonton dalam 2 pekan, menjadi fenomena sosial di masyarakat (https://umj.ac.id/, 2024).


Di Indonesia, kasus perselingkuhan tidak ada data yang pasti. Namun menurut salah satu situs kencan 'Just Dating', tercatat 40% pria dan wanita Indonesia mengaku pernah berselingkuh.  Indonesia bahkan menduduki peringkat tertinggi kedua di Asia Tenggara, setelah Thailand (https://ntbsatu.com/2025). 34% dari hasil riset dari Forbes Advisor, juga menyebut perselingkuhan ataupun hubungan lain di luar pernikahan menjadi penyebab perceraian (https://www.cnbcindonesia.com/, 2024).


Dampak dari Budaya Patriarkhi dan Agama


Tahun 2017 lalu, dalam pendampingan sebuah kasus, ada hal yang berbeda yang saya temukan. Sebagai aktivis Perempuan dan lingkungan pada saat itu membawa saya pada situasi yang tidak mudah untuk disuarakan, meskipun bagi sesama Perempuan. Dalam perselingkuhan seringkali akan menemukan dua sudut pandang antara korban dan pelaku. Bisa keduanya adalah antara yang menjadi perselingkuhan ataupun pasangan yang sah adalah sama-sama korban. Bicara dari konteks korban juga sangat luas, tak hanya perempuan namun juga laki-laki bisa menjadi korban. Sama halnya saat bicara dari perspektif pelaku, bisa Perempuan ataupun laki-laki.


Kisah nyata ini dialami oleh seorang perempuan sebut saja 'M' yang telah menikah selama 5 tahun. Awal pernikahan tentu sangat membahagiakan hingga datanglah 'selingkuhan' dari sang suami yang mengaku telah hamil dan perempuan ini yang merupakan seorang mahasiswi tempat dimana suaminya bekerja, mau dihamili karena ada alasan sebagai bentuk perjanjian untuk dinikahi, menjadi istri kedua, dan tentu 'ingin bertaubat dari dunia malam' yang selama ini digelutinya.


Kisah ini tentu hanya sepenggal, dimana perselingkuhan yang seharusnya adalah persoalan fenomena sosial, ditarik dalam ranah 'agama' sekaligus 'budaya patriarkhi' yang membuat korban terjebak dalam 'rasa bersalah, rasa pengabdian, rasa ingin memberikan hal terbaik pada pasangan sah namun dengan cara yang salah. Dampaknya adalah:


Pertama, Menyalahkan Perempuan
Budaya patriarkhi, dimana menempatkan Perempuan sebagai kelas dua yang hanya berurusan dengan domestic, menjadi kuat karena sarat menggunakan nama 'agama', sehingga tidak punya ruang dari sisi aktualisasi dan harus mengikuti kemauan laki-laki. Belum hilang diingatan kita 'postingan closefriend' yang mengguncang jagad maya dengan kasus Arawinda Kirana, hingga Nissa Sabyan pada 2022, yang juga sangat menyiratkan 'semua kesalahan atas terjadinya perselingkuhan adalah perempuan' dan sangat tidak ditolerir oleh masyarakat. Akan tetapi hal ini menjadi berbeda perspektif jika terkait si 'laki-laki' baik dia di posisi pelaku ataupun korban, karena laki-laki adalah korban godaan perempuan. Mary Anne Ferguson dalam bukunya Images of Women in Literature (1973) menilai bahwa ini lekat dengan stereotype perempuan sebagai simpanan dan obyek seksual. Karenanya mereka yang sebagian besar menanggung sanksi sosial, yakni lewat pengecualian oleh masyarakat atau cancel culture. Kita terkadang lupa bahwa it takes two to tango. Sebuah relasi tentu tidak akan terjadi, kalau kedua pihak tidak sepakat untuk menjalin hubungan. Hanya saja laki-laki menerima sanksi sosial yang lebih kecil dibandingkan perempuan.


Kedua, Komentar Buruk di Luar Konteks
Seringkali kita temui di berbagai Tweets, IG ataupun Tik-Tok, muncul berbagai fyp yang digunakan oleh masyarakat menumpahkan kekecewaan kepada 'perempuan' yang dituduh sebagai pihak ketiga. Padahal seharusnya, platform media sosial dapat menjadi penguatan dan edukasi bagi sesama perempuan. Realita ini berbalik, tatkala si pihak ketiga dianggap menyakiti perempuan lain karena membangun relasi romantisme bersama laki-laki yang telah menikah.


Richard Whately, pertengahan abad ke-19. Whately menggunakan istilah "ad hominem" dalam hal tersebut yakni, strategi beretorika ketika orang menyerang orang lain lewat karakter, motif, atau ciri lain secara personal, di luar substansi argumen meskipun poin yang disampaikan punya premis yang berbeda.


Ketiga, Pasangan Sah dibandingkan dengan Selingkuhan
Dalam banyak kasus, seperti Arawinda, Nissa Sabyan, dan kasus Inara Rusli pada 2023 menjadi fenomena sosial, dimana para perempuan selingkuhan dibandingkan dengan istri sah. Perbandingan ini jelas secara fisik bahkan hingga karir. Perempuan selingkuhan yang kemudian bergelar pelakor jelas 'dinilai buruk' dan berhak menerima cacian karena sifat aslinya keluar.


Keempat, Modus Laki-laki Menghianati Istri Sah
Laki-laki seringkali tidak tersorot saat terjadi perselingkuhan, meskipun dia sebagai peran utama. Padahal perempuan yang menjadi selingkuhan terkadang tidak mengetahui bahwa laki-laki sudah beristri atau memiliki pasangan ataupun bahkan mengetahui namun dikemudian hari. Seringkali laki-laki menggunakan umpan 'curhatan', men-treatment perempuan yang menjadi target selingkuhannya dengan berbagai cara, mulai dari pemenuhan kebutuhan fisik, hingga pendidikan atau barang mewah. Hal ini dilakukan untuk 'mengambil kepercayaan' dan laki-laki bisa menceritakan privasinya.


Kita mungkin masih ingat serial 'Layangan Putus (2021), ketika Aris (Reza Rahadian), tak bisa menceraikan Kinan (Putri Marino), karena Aris sadar ada anak dan istri yang ditinggalkannya. Di saat yang sama Aris juga tak bisa meninggalkan Lydia (Anya Geraldine) karena menjadi pasangan seksual, dan sebaliknya Lydia tak bisa meninggalkan Aris karena dia adalah tempat berkeluh kesah.
Kelima, Modus 'Agama'.


Serial Bidaah (Broken Heaven) 2025, salah satu film spektakuler yang kental akan penyalahgunaan agama sebagai pintu masuk untuk menjalin relasi dengan Perempuan yang bukan pasangan sah oleh Walid Muhammad Mahdi Ilman (diperankan Faizal Hussein), pemimpin karismatik kelompok bernama Jihad Ummah.


Walid, menggunakan simbol agama untuk memanipulasi, menutupi penyimpangan, dan bahkan melakukan tindakan pseudo-perselingkuhan spiritual, melakui penyalahgunaan kekuasaan atas nama agama, kekerasan spiritual dalam rumah tangga, dan melanggengkan budaya patriarkhal melalui literasi agama dan figur kharismatik yang ia bangun.


Treatment Meminimalisir Perselingkuhan
Mencegah perselingkuhan bukan hal yang mudah, namun bukan berarti tidak bisa. Fye dan Mims (2018) Preventing Infidelity. The Family Journal: Counseling and Therapy for Couples and Families, menuliskan pendapatnya dalam melakukan pencegahan terjadinya perselingkuhan, diantaranya:


Pertama, Secure Attachment atau Ikatan Emosional
Ikatan emosional antar pasangan harus dibangun dan dipenuhi, baik secara fisik, emosional, dan biologis. Kegiatan bersama, mengobrol, hingga menjalani akhir pekan bersama, membangun keterbukaan, akan memberikan afirmasi positif dan empati kepada pasangan adalah cara efektif untuk membangun kedekatan dengan pasangan dalam bentuk ikatan emosional.


Kedua, Pemenuhan dalam Hubungan Seks
Kebutuhan seksual atau bilogis juga factor penting dalam membangun emosi positif. Relaksasi yang muncul, dapat memicu oksitosin 'hormon cinta' yang meningkatkan rasa kedekatan, kepercayaan, dan ikatan emosional antara pasangan (bonding glue). Aktivitas ini memicu dopamin, yaitu neurotransmitter yang terkait dengan kesenangan dan reward. Otak akan mengasosiasikan pasangan dengan perasaan bahagia dan memuaskan, sehingga meningkatkan ketertarikan emosional dan ketergantungan positif. Berikutnya, endorfin dilepaskan selama dan setelah berhubungan seksual, menciptakan efek relaksasi dan penghilang stress dan terakhir adalah Vasopresin (hormon loyalitas). Terutama pada pria, vasopresin dilepaskan setelah orgasme dan dikaitkan dengan ikatan jangka panjang dan perlindungan terhadap pasangan.


Ketiga, Strategi coping dalam Menghadapi Masalah
Strategi coping dapat dilakukan dengan menyeimbangkan peran antara masing-masing pasangan, self-care dan self-control dengan memberikan dukungan satu sama lain, termasuk mempraktikan fleksibilitas dan adaptabilitas dalam hubungan. Cara ini dapat menciptakan pola interaksi dan komunikasi yang lebih sehat, harmonis, dan melanggengkan komitmen, bahkan mendewasakan masing-masing pasangan dalam menangani masalah yang ke depan bisa timbul.

Keempat, Pemahaman Literasi Agama dengan Baik dan Bijak
Agama, menjadi faktor penting yang menentukan arah jalannya manusia secara rohani. Karenanya memahami literatur agama yang baik melalui kitab suci dengan penafsiran yang benar, tidak 'parsial', tanpa konteks yang utuh adalah penting. Contoh, dalih "boleh poligami" sering dijadikan pembenaran untuk berselingkuh atau menikah diam-diam, padahal syarat poligami sangat berat dan tidak boleh mencederai keadilan dan amanah (lihat QS. An-Nisa: 3). Penting juga memisahkan antara "syariat" dan "niat tersembunyi". Sesuatu yang "tampak syar'i" belum tentu benar jika niatnya tidak baik.  Contohnya adalah menikah lagi untuk menutupi selingkuh, lalu menyebutnya sebagai "sunnah".


Literasi agama yang sehat akan menuntun pada akhlak, bukan hanya ritual atau simbol, tapi juga  justifikasi budaya 'patriarkhi', guna mencari "dalil pembenaran" agar terlihat benar, misalnya dengan menyalahkan pasangan sah atau berkata "jodoh dari Allah tidak bisa ditolak."


Terakhir tentu penting membuka "kritik sosial dan dialog agama" bukan ditutup dengan kalimat seperti "urusan rumah tangga orang lain, jangan ikut campur." Penting ada kontrol sosial dari tokoh agama, komunitas, dan keluarga agar terhindar seperti apa yang terjadi dalam kasus "Walid" yang terjebak dalam "Bidaah" yang salah. Karena agama mengajarkan tanggung jawab, kesetiaan, dan adab menjaga pernikahan. Termasuk dalam Islam, perselingkuhan (khianat terhadap pasangan sah) termasuk dalam kategori dosa besar (QS. Al-Isra': 32).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun