Mohon tunggu...
Nor Qomariyah
Nor Qomariyah Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar stakeholder engagement, safeguard dan pegiat CSR

Senang melakukan kegiatan positif

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ketika Standard Biaya Pendidikan Tak Lagi Tertahankan, Inklusivitas adalah Jawaban

2 Agustus 2022   00:43 Diperbarui: 2 Agustus 2022   10:06 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Malam belum begitu larut, waktu baru menunjukkan pukul 20.00 WIB. Penyeberangan jalan di sekitar Jalan Bendungan Hilir Jakarta Pusat, begitu ramai, dan penuh dengan puluhan manusia yang bersaing dengan transportasi angkutan umum untuk melintas. 

Jam pulang kerja, inilah puncaknya dengan berbagai tawaran jajanan kuliner malam, bagi para karyawan yang pulang dari kantor. Sekadar mampir mengisi perut menjadi target untuk mengisi tenaga persiapan istirahat di peraduan agar besok bisa kembali bekerja seperti sedia kala.

Hiruk pikuk ini, ternyata tak membuat Pak Karto lantas berhenti menjajakan semprong-nya, jajanan tradisional yang terbuat dari adonan tepung terigu, sedikit telur, tambah gula, garam, santan, margarin yang dilelehkan dan tentu saja cetakan kue yang harus dipanaskan terlebih dahulu agar adonan bisa digulung dan mengering. 

Sebagian orang mengenalnya dengan egg roll dan menjadi khas jajanan Imlek. Sudah 7 tahun belakangan Pak Karto jajakan. Meski tak sebanyak dulu pelanggannya, Pak Karto tak berhenti berproduksi, demi sekolah anak dan membahagiakan sang istri. 

Tak bosan, berkali-kali ia menawarkan, berkali-kali pun ditolak, dan 'senyum' adalah pengobat dengan rasa 'syukur' tak terhingga, karena rizki telah ada yang mengatur.

Tak hanya Pak Karto, di sini ada banyak sekali profesi kerah biru jika boleh meminjam istilah Asumsi, sebuah video yang selalu konsisten menyajikan profesi-profesi lain yang jarang kita pikirkan atau bahkan terlintas sekalipun. Termasuk, seorang bapak tua yang mengumpulkan botol dan gelas plastik di sekitar jalan ini. 

Mungkin bagi kita, ini hal biasa karena sudah banyak profesi yang sama menjadi pilihan, ditengah kerasnya hidup di ibu kota. Fenomena yang juga bertumbuh pesat, tambah tahun, bertambah juga jumlah orang yang harus hidup di jalanan dan bukannya menurun.

Seperti malam ini, Pak Karto lagi-lagi bercerita tentang masa kecilnya, menghabiskan waktu di kampung, dengan penuh cita-cita membubung. Pak Karto sadar, pendidikan bagi keluarganya penting, untuk menuju kehidupan lebih baik. 

Namun apa di kata, berganti generasi, dia justru merasakan sesaknya nafas biaya pendidikan yang semakin menjulang. Estimasi biaya pendidikan formal yang tak lagi mampu ia lewati karena jalannya begitu terjal.

Keluhan Pak Karto, sangatlah mendasar. Bagaimana tidak, melansir dari Republika.co.id (2021), jika dihitung dalam jangka 10 tahun ke depan dari TK hingga Sarjana Strata 1, biaya pendidikan akan melampaui 1,2 M. 

Catatan lain adalah tingkat inflasi sektor pendidikan di mana sesuai Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 3,81%, kenaikan uang pangkal pendidikan mencapai 10-15% per tahun, dengan rata-rata kenaikan biaya pendidikan di Indonesia, mencapai 20% setiap tahun. Hal ini masih ditambah biaya pendidikan di Perguruan Tinggi swasta naik hingga 40%.

Di sekolah swasta, pengalaman secara langsung, mulai dari PAUD sampai kuliah mungkin jika dihitung bisa mencapai sekitar 190-an juta. Bagaimana tidak, untuk masuk sekolah swasta yang dikenal dengan pemmbentukan capacity building, seorang teman di Yogyakarta yang sekaligus orangtua harus merogoh kocek 11 juta untuk pendaftaran awal masuk Taman Kanak-Kanak (TK). 

Angka yang membuat saya berpikir ulang, mengkalkulasi bagaimana nanti jenjang SD, SMP, SMA hingga kuliah dalam kurun waktu 10 tahun mendatang.

Sama halnya di DKI Jakarta, di mana berdasarkan data BPS 2019, biaya pendidikan di DKI Jakarta lebih tinggi dan menjadi yang tertinggi dengan kisaran 13,4 juta pada tahun ajaran 2017/2018 untuk tingkat SMA, padahal biaya nasional di angka 6,5 juta.

Fenomena yang sama hari ini, sampai pada pandangan, betapa beratnya biaya pendidikan yang tak lagi bersahabat atas deretan kebutuhan ekonomi yang terus mendesak. 

Metode, sistem, dan kebijakan yang seringkali melewati batas penglihatan pada struktur kelas sosial atas nama "pendidikan" yang pada akhirnya menuntut kita, untuk semakin ketat dalam mengivestasikan kebutuhan pendidikan anak di masa depan.

Melansir dari dari BPS (2022) menyebutkan, bahwa gaji karyawan di Indonesia tahun ini berada di kisaran Rp 2,89 juta/bulan. Ini artinya, secara struktur penghasilan akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan pembiayaan pendidikan ke depan. 

Dampaknya bisa saja akan terus menurun kemampuan akses pendidikan bagi generasi berikutnya. Teach Like Finland (2017) yang ditulis oleh Timothy D Walkerz mungkin bisa menjadi inspirasi dalam hal ini dengan cara memasukkan inklusivitas dalam sistem pendidikan kita. Tak soal berapa biaya, melainkan tak perlu sistem kelas sosial dalam implementasi pendidikan dengan layak dan cukup dalam satu ruang kelas.

Tetsuko Kuroyanagi dalam Modogiwa no Totto-Chan (1981), di mana mengisahkan Totto Chan dalam menjalani pendidikan dasarnya dengan sistem yang berbeda, tanpa kelas sosial dan sekat kedisiplinan dalam sistem pendidikan Jepang saat itu. Totto-Chan, justru tumbuh dan menikmati pendidikan inklusif bersama Sosaku Kobayashi (Kepala Sekolah) Tomoe Gakuen dimana Totto Chan berada. 

Inklusivitas ini begitu jelas, dimana membuat Totto-Chan, gadis kecil berkembang dengan cara berpikirnya yang kreatif dan membuatnya resilience, dengan fungsi overcoming (kemampuan mengatasi masalah/kesulitan), steering trough (menguasai lingkungan secara efektif), bouncing back (mendapatkan pengalaman dan membangun komitmen) dan reaching out (pengalaman lebih kaya dan bermakna yang dapat dijangkau). 

Resiliensi inilah, nilai dari dampak sistem inklusivitas pendidikan yang ditunjukkan oleh Kuroyanagi, di mana jika anak mendapatkan pendidikan dengan pola dan sistem inklusif tanpa sekat kelas sosial, ke depan akan mampu membentuk karakter yang sehat secara fisik dan mental dalam berinteraksi dengan lingkungannya serta berkembang sesuai dengan kapasitas dan potensinya.

Bagaimana kemudian kita mengembangkan pendidikan lebih inklusif? 

Ada banyak sekali strategi sebenarnya yang bisa kita lakukan bersama secara kolaboratif tentunya.

Pertama, implementasi kebijakan yang tepat. Ada banyak sekali produk kebijakan yang sebenarnya sudah baik, mulai dari program beasiswa dengan Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang telah digagas, ada Bidikmisi, beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang dikelola oleh Kemenkeu dan lainnya. 

Kebijakan ini sudah baik, hanya saja dari sisi pengawasan dan memastikan the right person sang penerima yang harus tepat sasaran, disamping bagi yang menerima juga harus menyadarkan diri bagaimana kemudian ia punya tanggungjawab moral terhadap bangsa yang diharapkan kembali menata Indonesia dengan etos kerja yang lebih baik.

Kedua, menerapkan prinsip inklusivitas dalam sistem pendidikan. Inklusif merupakan sikap terbuka, untuk saling menghargai, memotivasi bahkan men-support satu sama lain. 

Inklusif harus dimasukkan dalam sistem pendidikan untuk meningkatkan kualitas layanan sekaligus menyetarakan pendidikan, tanpa latar belakang ekonomi. Inklusivitas ini diharapkan akan mampu mendorong resiliensi dan menghapus opportunity gap dalam manajemen bidang pendidikan.

Kita mungkin bisa melihat hari ini, realita di mana sangat korelatif antara penghasilan rendah dengan minat melanjutkan pendidikan. Terlihat jelas, dengan inflasi ekonomi terhadap pendapatan yang tinggi, dimana menaikkan juga jumlah kemiskinan yang mencapai 9,54% dari seluruh total penduduk Indonesia atau sekitar 26,16 juta orang pada Maret 2022 (bps.go.id). 

Dalam hal ini, Gorski (2018), dalam Reaching and Teaching Students in Poverty: Strategies for Erasing the Opportunity Gap memberikan pandangan betapa pentingnya kemudian melakukan "reproduksi sosial" melalui kapital orangtua, dalam artian sumber daya, pendapatan, kapasitas, keterampilan dan jaringan. Sehingga, generasi berikutnya akan lebih bisa terarah dengan pola edukasi lebih baik.

Ketiga, pemanfaatan Corporate Social Responsibility (CSR) dalam mendukung efektivitas pendidikan. Bagi masyarakat sekitar, ketika ada perusahaan, tentu dipenuhi dengan harapan manfaat, terutama melalui CSR. 

Ada banyak sekali program CSR yang kemudian dimana entry point-nya adalah memberikan manfaat kepada masyarakat sekitarnya. Program CSR dalam hal ini dapat menjadi langkah padu dalam penyertaan pendidikan, dimana dapat mendorong daya saing daerah dan generasi yang kompetitif.

Guna mendorong hal ini, maka perencanaan CSR pendidikan harus dilakukan secara partisipatif, berangkat dari kebutuhan masyarakat, mendukung kebijakan pemerintah setempat dan mampu mendorong resiliensi masyarakat di masa mendatang. 

Paling tidak bisa dilakukan assessment awal, di mana dan apa core program yang bisa di create melalui pendidikan, apakah formal, non-formal, peningkatan skill, ataukah pendidikan lapang yang justru bisa langsug dipraktekkan dalam dunia kerja dan diserap oleh kebutuhan insutri, bisnis ataupun malah berkembang menjadi pelaku usaha.

Harapannya tentu saja, Pak Karto dan masyarakat lainnya mendapatkan akses pendidikan sesuai dengan prinsip inklusivitas, tanpa sekat sosial, di tengah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia. 

Karenanya, penting bagi kita semua untuk bersama, berkolaborasi membangun partnership dalam membangun resiliensi pendidikan inklusif menjadi praktek nyata dalam membangun generasi Indonesia sebagai garda terdepan bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun