Mohon tunggu...
Nor Qomariyah
Nor Qomariyah Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar stakeholder engagement, safeguard dan pegiat CSR

Senang melakukan kegiatan positif

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ketika Standard Biaya Pendidikan Tak Lagi Tertahankan, Inklusivitas adalah Jawaban

2 Agustus 2022   00:43 Diperbarui: 2 Agustus 2022   10:06 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Di sekolah swasta, pengalaman secara langsung, mulai dari PAUD sampai kuliah mungkin jika dihitung bisa mencapai sekitar 190-an juta. Bagaimana tidak, untuk masuk sekolah swasta yang dikenal dengan pemmbentukan capacity building, seorang teman di Yogyakarta yang sekaligus orangtua harus merogoh kocek 11 juta untuk pendaftaran awal masuk Taman Kanak-Kanak (TK). 

Angka yang membuat saya berpikir ulang, mengkalkulasi bagaimana nanti jenjang SD, SMP, SMA hingga kuliah dalam kurun waktu 10 tahun mendatang.

Sama halnya di DKI Jakarta, di mana berdasarkan data BPS 2019, biaya pendidikan di DKI Jakarta lebih tinggi dan menjadi yang tertinggi dengan kisaran 13,4 juta pada tahun ajaran 2017/2018 untuk tingkat SMA, padahal biaya nasional di angka 6,5 juta.

Fenomena yang sama hari ini, sampai pada pandangan, betapa beratnya biaya pendidikan yang tak lagi bersahabat atas deretan kebutuhan ekonomi yang terus mendesak. 

Metode, sistem, dan kebijakan yang seringkali melewati batas penglihatan pada struktur kelas sosial atas nama "pendidikan" yang pada akhirnya menuntut kita, untuk semakin ketat dalam mengivestasikan kebutuhan pendidikan anak di masa depan.

Melansir dari dari BPS (2022) menyebutkan, bahwa gaji karyawan di Indonesia tahun ini berada di kisaran Rp 2,89 juta/bulan. Ini artinya, secara struktur penghasilan akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan pembiayaan pendidikan ke depan. 

Dampaknya bisa saja akan terus menurun kemampuan akses pendidikan bagi generasi berikutnya. Teach Like Finland (2017) yang ditulis oleh Timothy D Walkerz mungkin bisa menjadi inspirasi dalam hal ini dengan cara memasukkan inklusivitas dalam sistem pendidikan kita. Tak soal berapa biaya, melainkan tak perlu sistem kelas sosial dalam implementasi pendidikan dengan layak dan cukup dalam satu ruang kelas.

Tetsuko Kuroyanagi dalam Modogiwa no Totto-Chan (1981), di mana mengisahkan Totto Chan dalam menjalani pendidikan dasarnya dengan sistem yang berbeda, tanpa kelas sosial dan sekat kedisiplinan dalam sistem pendidikan Jepang saat itu. Totto-Chan, justru tumbuh dan menikmati pendidikan inklusif bersama Sosaku Kobayashi (Kepala Sekolah) Tomoe Gakuen dimana Totto Chan berada. 

Inklusivitas ini begitu jelas, dimana membuat Totto-Chan, gadis kecil berkembang dengan cara berpikirnya yang kreatif dan membuatnya resilience, dengan fungsi overcoming (kemampuan mengatasi masalah/kesulitan), steering trough (menguasai lingkungan secara efektif), bouncing back (mendapatkan pengalaman dan membangun komitmen) dan reaching out (pengalaman lebih kaya dan bermakna yang dapat dijangkau). 

Resiliensi inilah, nilai dari dampak sistem inklusivitas pendidikan yang ditunjukkan oleh Kuroyanagi, di mana jika anak mendapatkan pendidikan dengan pola dan sistem inklusif tanpa sekat kelas sosial, ke depan akan mampu membentuk karakter yang sehat secara fisik dan mental dalam berinteraksi dengan lingkungannya serta berkembang sesuai dengan kapasitas dan potensinya.

Bagaimana kemudian kita mengembangkan pendidikan lebih inklusif? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun