Mohon tunggu...
Nor Qomariyah
Nor Qomariyah Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar stakeholder engagement, safeguard dan pegiat CSR

Senang melakukan kegiatan positif

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Rendang Babi" Satu Balutan Rasa Beda Makna Filosofi

20 Juni 2022   15:05 Diperbarui: 20 Juni 2022   15:10 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara riuh rendah para ibu yang sedang memasak begitu jelas terdengar. Tertawa, bercerita sambil menghaluskan berbagai bumbu untuk persiapan hajatan pendirian sebuah rumah yang berada di salah satu gang jalan Kota Yogyakarta. Cabai merah, bawah merah, bawang putih, kemiri, ketumbar, jahe, serai, semua dihaluskan bersama garam dan gula merah. 

Begitu cekatan ibu C, mengayunkan batu giling untuk menghaluskannya. Irama yang terdengar ramah, lembut dan tidak gemerisik ketika menggunakan penghalus bumbu yang biasanya dipakai para ibu di generasi belakangnya yang dikenal dengan 'blender'. 'Bumbu yang digiling dengan batu ini punya cita rasa khas dibandingkan menggunakan mesin modern itu' begitu kilahnya.

Tak menunggu lama, ibu A yang juga ditunjuk sebagai juru masak, dengan cekatan membantu ibu C, menuangkan bumbu rempah 'rendang' ke dalam santan yang berada dalam wajan besar dan telah diisi dengan serai yang digeprek, daun salam, lengkuas dan kayu manis. Tidak perlu ditumis menurutnya, karena santan sudah mengandung minyak kelapa murni. 

Perlahan diaduknya santan hingga hampir mendidih dan daging sapi yang telah dipotong dadu mulai dimasukkan satu persatu. Sebagai orang yang pernah berdiam di pulau Sumatera selama 5 tahun, proses memasak rendang memiliki arti tersendiri.

Apa yang dilakukan ibu C, ibu A dan para ibu yang lain, bagi saya merupakan bentuk kerjasama, berkolaborasi dalam menyusun sebuah tujuan akhir yakni 'rendang' yang lezat dan memikat tentunya, terlepas dari riuh rendahnya suara mengenai 'rendang babi' yang kini ramai diperbincangkan, tak hanya menjadi obrolan warung makan, pasar, hingga foto kopi di satu sudut kampus, tetapi juga dunia 'meta' turut memberikan masing-masing suara. 

Tak tanggung-tanggung, 'rendang babi' menjadi judul besar yang dibahas dari berbagai sudut pandang perspektif bahkan tokoh agama dan negara negeri ini, dari politisi, ustadz, cendikiawan, dosen, sastrawan, gubernur, kementrian agama hingga mahasiswa. Pun tak ketinggalan pemilik kedai kopi gang sempit dan angkringanpun berbicara dalam fokus dua kosa kata 'rendang' dan 'babi'.

Sejak cerita soal 'rendang' bersama 'babi' ini mencuat, pada akhirnya kita membuka fakta sejarah, sejarah soal agama dan keberagamaan, soal filosofi dari nilai adat dan budaya bahkan soal 'tata krama' yang sering kali kita 'abai' dalam hal makanan. Hari ini 'rendang' memang menjadi makanan nasional yang diakui oleh Kementrian Pariwisata Indonesia pada 9 April 2018 bersanding dengan nasi goreng, soto, sate dan gado-gado. Rendang begitu cepat menyebar ke seluruh nusantara yang memang pada dasarnya disajikan dan dibawakan bagi masyarakat Minang yang merantau ke luar daerahnya.

Di sisi lain, dengan adanya pengakuan sebagai national food, 'rendang' memiliki nilai filosofi tinggi. Dalam 'journal of ethnic food' dalam tulisan Muthia Nurmufid dkk (2017), 'Rendang: The Treasure of Minangkabau', istilah 'rendang' berasal dari kata 'marandang' yang berarti 'secara lambat'.

Hal ini merujuk pada lamanya proses memasak rendang, ber jam-jam hingga aroma khas rempah keluar, yang konon berasal dari perpaduan India dan Timur Tengah saat datang ke Sumatera untuk berdagang. Rangkaian proses ini juga melambangkan 'ketulusan, kesabaran dan kebijaksanaan melalui pemilihan bumbu dengan citarasa tinggi'.

Makna filosofi lain juga disebutkan dalam 'Randang Bundo' (2019) karya Amalia yang menyebutkan secara simbolik bahan-bahan rendang dengan makna adat yang tinggi.

Daging merupakan simbol ninik-mamak (para pemimpin suku adat), dimana khas rendang menggunakan 'dagiang kabau'. Karambia (kelapa), merupakan simbol cadiak pandai atau kaum intelektual, lado (cabai) merupakan simbol alim ulama yang senantiasa memberikan nasehat keagamaan dan bumbu (pemasak) yang melambangkan keseluruhan elemen masyarakat Minangkabau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun