"AI may echo out thoughts, but only humans can feel"
- Prof. Dr. Ulani Yunus
Ketika algoritma mulai menulis iklan dan avatar virtual menggantikan manusia di kampanye brand besar, kita seolah-olah tengah menyaksikan sunyinya panggung kreatif. Tapi diam-diam, di luar pusat-pusat industri, panggung kecil lain sedang tumbuh: dapur UMKM, layar ponsel pelaku konten, dan etalase digital para perajin lokal. Di sanalah passion economy menemukan ruangnya.
Namun, pertanyaan penting muncul: di era ketika AI bisa melakukan hampir segalanya, apakah masih ada tempat untuk kreativitas manusia?
Dari "Branding" ke "Being": Makna di Tengah Disrupsi
Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Ulani Yunus menyatakan bahwa branding kini tidak lagi hanya soal pencitraan, tapi sudah masuk ke wilayah eksistensial. "Apakah kita sedang membangun makna dalam kehidupan, atau sekadar mengonsumsi ilusi yang dihasilkan mesin?"
Sebagai akademisi dan pelaku UMKM, saya merasa pertanyaan ini tidak hanya relevan bagi perusahaan besar, tapi juga sangat dekat dengan denyut napas para solopreneur. Dalam dunia passion economy, branding bukan soal viralitas semata, tapi soal otentisitas, narasi diri, dan hubungan emosional yang dibangun dengan audiens.
Antara Simulasi dan Simpati: Saat Mesin Meniru Empati
Kecerdasan buatan (AI) kini mampu menciptakan konten yang tampak "emosional", namun sesungguhnya nihil dari rasa. Seperti yang diungkap dalam orasi, AI mampu membuat konten dengan kecepatan tinggi, tapi risikonya adalah homogenisasi kreativitas dan hilangnya keunikan manusiawi.
Apakah itu cukup untuk membangun merek yang bermakna? Apakah sebuah logo yang dihasilkan oleh mesin bisa mengerti trauma seorang perajin yang bangkit dari keterpurukan? Atau mimpi seorang ibu tunggal yang menjahit sambil mendongeng untuk anaknya?
Di sinilah letak pentingnya human-centered creativity. AI bisa menjadi alat bantu, namun nilai tetap ditentukan oleh manusia yang punya cerita dan hati.
Simbiosis, Bukan Substitusi: Jalan Tengah ala Passion Economy
Saya percaya, jalan ke depan bukan memilih antara manusia atau mesin. Seperti yang ditawarkan Prof. Ulani: Kreativitas Simbiotik Manusia-AI. Ini adalah kerja sama strategis di mana intuisi manusia dan efisiensi mesin saling melengkapi.
Dalam konteks passion economy, inilah yang kita lihat: influencer lokal yang memadukan AI untuk editing video, tapi tetap menulis naskah berdasarkan pengalaman pribadi. Atau desainer yang menggunakan ChatGPT untuk riset tren, tapi tetap melukis dengan tangannya sendiri.
Digital passion economy menjadi salah satu bukti bahwa inovasi tidak harus mereduksi peran manusia, justru mengangkatnya ke level yang lebih berdaya.
Keadilan Kreatif di Era Otomatisasi
Namun, seperti yang dikritisi oleh Prof. Ulani, kita tidak bisa menutup mata terhadap tantangan etika: dari plagiarisme otomatis, manipulasi emosi berbasis algoritma, hingga ketimpangan akses teknologi. Jika tidak disikapi dengan bijak, maka AI justru akan menciptakan kasta baru: antara mereka yang bisa "ngoding rasa" dan mereka yang sekadar jadi objek pasar data.
Sebagai pengajar dan peneliti di bidang komunikasi digital dan ekonomi kreatif, saya melihat pentingnya membangun kesadaran kritis sejak dini, baik di ruang kelas maupun ruang produksi.
Hari ini, mungkin kita bisa menyerahkan sebagian pekerjaan kepada mesin. Tapi, makna? Rasa? Nilai? Itu masih tugas manusia.
Artikel ini bersumber dari Orasi Ilmiah Prof. Dr. Ulani Yunus, Dra., MM "Disrupsi Kreativitas: Kecerdasan Buatan, Etika dan Senjakala Peran Manusia dalam Kegiatan Branding" yang dibacakan pada Inaugurasi Guru Besar Bidang Periklanan dan Merek 03 Juli, 2025.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI