Mohon tunggu...
Noprita Herari
Noprita Herari Mohon Tunggu... Practitioner in Action, Academician in Thought ✍

Turn overthinking menjadi tulisan

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

AI boleh Cerdas, tapi Manusia yang Punya Rasa: antara Merek, Makna dan Masa Depan Passion Economy

21 Juli 2025   08:09 Diperbarui: 20 Juli 2025   22:04 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prof. Dr. Ulani Yunus membacakan Orasi Ilmiah (LSPR Institute, 2025)

"AI may echo out thoughts, but only humans can feel"

- Prof. Dr. Ulani Yunus

Ketika algoritma mulai menulis iklan dan avatar virtual menggantikan manusia di kampanye brand besar, kita seolah-olah tengah menyaksikan sunyinya panggung kreatif. Tapi diam-diam, di luar pusat-pusat industri, panggung kecil lain sedang tumbuh: dapur UMKM, layar ponsel pelaku konten, dan etalase digital para perajin lokal. Di sanalah passion economy menemukan ruangnya.

Namun, pertanyaan penting muncul: di era ketika AI bisa melakukan hampir segalanya, apakah masih ada tempat untuk kreativitas manusia?

Dari "Branding" ke "Being": Makna di Tengah Disrupsi

Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Ulani Yunus menyatakan bahwa branding kini tidak lagi hanya soal pencitraan, tapi sudah masuk ke wilayah eksistensial. "Apakah kita sedang membangun makna dalam kehidupan, atau sekadar mengonsumsi ilusi yang dihasilkan mesin?" 

Sebagai akademisi dan pelaku UMKM, saya merasa pertanyaan ini tidak hanya relevan bagi perusahaan besar, tapi juga sangat dekat dengan denyut napas para solopreneur. Dalam dunia passion economy, branding bukan soal viralitas semata, tapi soal otentisitas, narasi diri, dan hubungan emosional yang dibangun dengan audiens.

Antara Simulasi dan Simpati: Saat Mesin Meniru Empati

Kecerdasan buatan (AI) kini mampu menciptakan konten yang tampak "emosional", namun sesungguhnya nihil dari rasa. Seperti yang diungkap dalam orasi, AI mampu membuat konten dengan kecepatan tinggi, tapi risikonya adalah homogenisasi kreativitas dan hilangnya keunikan manusiawi.

Apakah itu cukup untuk membangun merek yang bermakna? Apakah sebuah logo yang dihasilkan oleh mesin bisa mengerti trauma seorang perajin yang bangkit dari keterpurukan? Atau mimpi seorang ibu tunggal yang menjahit sambil mendongeng untuk anaknya?

Di sinilah letak pentingnya human-centered creativity. AI bisa menjadi alat bantu, namun nilai tetap ditentukan oleh manusia yang punya cerita dan hati.

Simbiosis, Bukan Substitusi: Jalan Tengah ala Passion Economy

Saya percaya, jalan ke depan bukan memilih antara manusia atau mesin. Seperti yang ditawarkan Prof. Ulani: Kreativitas Simbiotik Manusia-AI. Ini adalah kerja sama strategis di mana intuisi manusia dan efisiensi mesin saling melengkapi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun