IBU DI POS SATPAM
Aku baru saja menyalakan lampu pos satpam ketika mendapati sosok perempuan paruh baya sudah duduk di kursi kayu di sudut ruangan. Aku tertegun; tak ada suara langkah kaki, tak ada salam. Dia sudah di sana, menatap lurus ke arahku.
Kulitnya pucat seakan terbuat dari porselen. Rambutnya panjang tergerai, menutupi sebagian wajah yang tidak menampakkan ekspresi. Namun, yang paling membuatku bergidik adalah matanya—hitam legam tanpa cahaya.
“Kau terlambat datang,” ujarnya pelan, suaranya dingin seperti hembusan angin malam.
Aku menelan ludah. “Maaf, Bu. Apa yang bisa saya bantu?”
Dia tidak menjawab langsung. Matanya beralih ke meja di depannya, tempat secangkir kopi yang belum sempat kuseduh. Perlahan, tangannya yang tampak kaku itu terulur, seolah ingin menyentuh gelas kosong.
“Tempat ini sepi, ya?” katanya lagi, kali ini dengan senyuman tipis yang entah kenapa membuat jantungku berdegup lebih kencang.
Aku mengangguk kaku. Ada perasaan ganjil yang menyelimuti udara. Seolah oksigen di ruangan ini menipis setiap kali dia mengucapkan kata.
“Bu, apakah Ibu penghuni di sini?” tanyaku, mencoba memecah kesunyian.