Semenjak malam itu, sosok ibu itu terus muncul. Kadang ia sudah duduk di kursi pos saat aku datang, kadang ia berdiri di luar jendela sambil mengetuk kaca pelan. Setiap kemunculannya selalu diiringi hawa dingin dan aroma busuk yang kian menusuk.
Pernah suatu kali, ia bahkan menyebut namaku sebelum aku sempat memperkenalkan diri. Suaranya terdengar lebih serak dan berat, seakan banyak suara lain yang bergabung dalam tenggorokannya.
“Aku menunggu…,” bisiknya suatu malam, sebelum menghilang tanpa jejak.
Menunggu apa? Menungguku? Atau menunggu sesuatu yang lain?
Sampai hari ini, aku belum menemukan jawabannya. Yang kutahu, dia bukan manusia. Matanya yang hampa, kulitnya yang terlalu sempurna, dan bau busuk yang selalu mengikuti kehadirannya—semua itu mengisyaratkan sosok yang seharusnya tidak berada di dunia ini.
Dan setiap kali aku menutup pos satpam di akhir shift, bayangannya masih tertinggal di benakku. Tatapan kosongnya, gerakan kaku tangannya, dan suara yang berbisik langsung ke relung pikiranku.
Mungkin, dia akan kembali malam ini. Mungkin, dia akan kembali setiap malam. Karena sekali dia menemukan tempat “mampir,” entah kapan dia benar-benar akan pergi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI