Mohon tunggu...
Nofia Fitri
Nofia Fitri Mohon Tunggu... Administrasi - Political Researcher

Doctoral Student of Political Science at the University of Indonesia; Civic Lecturer at Poltekkes Jakarta III; Manager Program of an NGO Aliansi Kebangsaan. An owner of a Big Data Company, Warung Data Indonesia, and a Digital Politics platform Exploiticha.id (Exploration on Global Politics, Computer Technology, and Ethical). My research interest is in the areas of Digital Politics, Global Politics, and Political Ideology.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Syair Harmony untuk Kepergian Radiandra

28 Mei 2017   23:20 Diperbarui: 28 Mei 2017   23:45 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Harmony mengangkat tubuhnya yang lemah, ia melangkahkan kakinya yang begitu langsing memasuki kamar mandi. Dibasuhnya wajah putih itu. Kehangatan yang Harmony rasakan seperti masuk melalui pori-pori, mengalir melalui ribuan saraf tubuhnya, mungkin akan menusuk kuat jantungnya, atau justru mencairkan kebekuan hatinya. Harmony memandang wajahnya di cermin. Rambut hitam ini, seharusnya adalah milik Radian, mata indah ini seharusnya juga milik Radian, bibir ini, hidung ini seharusnya adalah milik Radian. Mungkinkah Radian akan memilikinya, Harmony bertanya pada cermin dihadapannya. Tapi cermin itu bisu, bahkan wajah dicermin itu hanya mengikuti ucapan Harmony.

            Tiba-tiba Harmony mendapati wajah dicermin itu mencemohnya, pancaran bola mata tajam mengusik pandangan Harmony, hidungnya mengendus, seperti bau yang menusuk, bibir itu mencibir, dan ia bersuara, ’semua takdir menjadi cerita dari syair harmony, tapi takdir itu akan mengakhiri penggalan syairmu’. Harmony tersentak, secara refleks disentuhnya wajah dicermin itu. Air mata, air mata mengalir dipipi wajah itu, putih bersih, tiba-tiba berubah menjadi merah. Harmony melihat darah, diambilnya botol shampoo yang tidak jauh dari tumpuan tangannya. Prang....cermin itu pecah, kini Harmony melihat darah itu sudah menyentuh kullitnya.

            Mami membalut luka ditangan Harmony. Ia memandang dengan penuh cinta wajah putrinya. Mami membelai rambut hitam Harmony, dikecupnya kening itu, seperti mengalirkan energi baru ketubuh Harmony.

            ”Kenapa kau pukul cermin itu?”

            ”Aku melihat wajah itu menangis, air matanya berubah menjadi darah. Aku takut mami.” Harmony memeluk erat tubuh mami. Ia tak kuasa menahan tetesan air mata membasahi wajahnya.

            “Mami melihat kesedihan itu, tapi kau tidak bisa terus-menerus larut sayang. Ini hanya perpisahan yang sesat. Radian akan kembali, dan kalian akan merangkai syair itu bersama.”


            ”Aku tidak berfikir tentang kemungkinan Radian kembali. Ia bahkan belum juga menelepon, tidak akan sampai khayalku melihatnya di tempat ini. Terlalu jauh mami, anganku tak akan mampu mencapainya.”

            ”Kau hanya perlu memikirkannya. Takdirmu akan datang, tidak peduli seberapa jauh atau dekat. Ia pasti akan datang menghampirimu, kau hanya perlu sedikit bersabar untuk menunggu.”

            Mami meninggalkan kamar Harmony. Balutan perban itu sudah mengikat erat luka dilengannya. Mungkin dalam satu minggu Harmony tidak akan bisa menggunakan laptopnya, mengetik sms, dan menggoreskan tinta untuk menumpahkan syair. Lengannya masih sakit, Harmony kadang merintih dalam kesendiriannya. Diambilnya buku harian disisi tempat tidur, Harmony mungkin belum bisa menuliskan sesuatu apapun, tapi bukan hal yang sulit untuk membacanya. Harmony melihat sekilas telepon genggamnya, ia mengalihkan perhatian dari buku harian ditangannya. Tangan kiri Harmony menggenggam erat, ditekannya nomor Radian. Tepat pukul enam sore, pesawat itu seharusnya sudah mendarat di Malaysia, dan telepon genggamnya akan memperdengarkan suara merdu Radian dari kejauhan.

            Telepon yang anda hubungi sedang diluar jangkauan area.

            Hanya operator yang menjawab. Kemana suara Radian, bisik Harmony dalam hatinya. Harmony melempar telepon genggam ditangannya. Seharusnya aku memang tidak menyentuh handphone itu, Harmony meneriaki dirinya sendiri. Diambilnya buku harian yang tadi diletakkannya. Radian meminjam buku ini tiga hari yang lalu. Harmony belum sempat membukanya, karena perhatiannya pada persiapan keberangkatan Radian. Harmony belum menuliskan sesuatu yang baru di buku itu, dan ini lah saatnya. Tapi ia tak berdaya, karena perban itu membalut erat lengannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun