Mohon tunggu...
Noer Ima Kaltsum
Noer Ima Kaltsum Mohon Tunggu... Guru - Guru Privat

Ibu dari dua anak dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sidik Jari

20 Agustus 2015   22:14 Diperbarui: 20 Agustus 2015   22:14 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Sidik Jari

Namanya Mursalin, guru matematika yang jago menulis. Apa saja bisa ditulis, dari hal sepele hingga kompleks. Dari yang tidak penting, bila diangkat bisa jadi sangat penting. Bukan Mursalin kalau orangnya tidak suka “ngeyel”. Tapi ngeyelnya Mursalin selalu ada dasarnya.

Sejak kasek baru memimpin di sekolah, semuanya serba berubah termasuk presensi guru dan karyawan. Awalnya presensi dengan tanda tangan tiap pagi saja. Sekarang berubah drastic. Sttt, presensinya menggunakan sidik jari. Sepertinya semua tidak setuju. Mursalin sadar, menjadi guru ngeyel beralasan ini membawa pengaruh bagi teman-temannya. Tapi sungguh, Mursalin tidak bermaksud untuk mencari dukungan teman-teman guru. Mursalin akan berdiri sendiri, berinisiatif sendiri dan menanggung semua resiko tak perlu melibatkan orang lain.

Mursalin diberi waktu libur kelas alias satu hari tidak mengajar yakni hari Senin. Hari Selasa Mursalin masuk sekolah. Waka Bidang Kurikulum meminta Mursalin untuk presensi dulu. Setelah tiga kali menempelkan jempolnya pada alat, alat tidak mau memroses. Oalah, ternyata sidik jempol Mursalin belum disetting.

Ini sudah memakan waktu lebih dari 5 menit. Bayangkan, kalau memakai manual, tinggal coret gitu sudah kelar. Sabar, sabar…. Sang operator menyetting sidik jempol Mursalin. Setelah itu barulah presensi hari ini bisa masuk. Tapi ternyata Mursalin masuk sekolah lebih dari jam 7. Mursalin dianggap terlambat.

Peraturan baru untuk presensi adalah waktu presensi adalah masuk jam 06.15 – 07.00. Bila presensi jam 07.00-07.35 maka dianggap terlambat. Presensi lebih dari jam 07.35 dianggap tidak masuk. Pulang sekolah jam 13.30. bila kurang dari jam itu, presensi tidak bisa masuk. Bila sampai jam tiga siang tidak presensi pulang maka dianggap membolos (bahasa kasarnya mlethas).

Mursalin santai saja. Hari ini gara-gara sidik jarinya belum disetting dia jadi terlambat. Sewaktu istirahat Mursalin bertanya kepada Pak Halim, Waka bidang Kurikulum.

“Pak, kalau dianggap tidak masuk karena presensi lebih dari jam 07.35, apakah masih boleh mengajar?”

“Boleh Bu.”

“Maaf pak, tugas saya mengajar. Saya tidak peduli dianggap membolos atau tidak hanya karena saya presensi lebih dari jam tujuh lebih tiga lima, yang penting saya mengajar.”

“Kalau tidak masuk, bonus kehadiran hilang, Bu.”

“Bonus kehadiran per hari tiga ribu rupiah biarlah hilang, yang penting saya bisa membagi waktu dengan pekerjaan rumah.

Pak, panjenengan juga tahu. Saya bukan PNS, saya hanya guru tidak tetap yang tidak memiliki jabatan sama sekali. Dengan gaji per bulan hanya sekitar lima ratus ribu rupiah, saya harus masuk kerja dari jam tujuh kurang sampai jam setengah dua siang. Wah sepertinya saya tidak bisa. Yang logis saja Pak.”

“Semua nanti tergantung kasek, Bu.”

Ternyata orang yang ngeyel bukan hanya Mursalin, ada juga Pak Yanto. Malah Pak Yanto lebih keras lagi, katanya,

“Kalau aku dianggap tidak masuk karena presensi jam setengah delapan lebih, maka sekalian aku tidak mengajar.”

Lain lagi dengan Pak Dian yang statusnya bukan PNS, malah dia tidak pernah presensi sidik jari. Ternyata guru-guru lainnya juga tidak setuju dengan presensi sidik jari.

Pak Dian bahkan sengaja setiap hari tidak presensi padahal masuk mengajar. Apakah itu juga dianggap tidak masuk?

00000

Kepala Pak Heru cenut-cenut, heran dengan guru-guru dan karyawannya. Hampir 75% dari mereka tidak mau presensi dengan sidik jari. Maksud presensi dengan sidik jari supaya guru dan karyawan disiplin dalam masuk kerja. Kenyataannya malah begini.

Alat presensi sidik jari berada di atas meja di ruang TU. Setiap hari menyala. Setiap hari yang presensi hanya kasek dan Waka Kur. Alat itu tidak sampai 1 bulan ditinggalkan guru/karyawan karena dianggap tidak praktis, tidak luwes dan tidak berpihak pada guru model Mursalin.

Mursalin tersenyum. Dia tak perlu dukungan orang lain untuk menolak presensi dengan sidik jari. Entahlah, mengapa teman-teman tidak mau presensi. Padahal bila mau presensi sidik jari, pasti ada yang mengajak berkomunikasi dengannya yaitu alat sidik jari akan berbunyi,”terima kasih.” (SELESAI)

Karanganyar, 20 Agustus 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun