Pertanyaan itu ia lontarkan ke hadapan saya seraya menyodori segelas jus semangka. Kontan saya kaget luar biasa. Ia yang beragama Kristen sampai rela membelikan minuman manis untuk saya berbuka puasa.
“Astaga, kita sampai lupa. Makasih, neh!” ucap saya berterima kasih.
Di lain kesempatan, bukan hanya waktu berbuka yang diingatkan. Teman saya yang lain juga sering mengingatkan waktu salat di berbagai kesempatan. Terutama waktu salat Jumat.
Itulah secuil keindahan toleransi antarumat beragama di Manado yang pernah saya rasakan.
Torang Samua Basudara
Kehidupan rukun dan damai tanpa memandang agama yang terasa begitu kental di Manado sejatinya juga dipengaruhi falsafah “Torang Samua Basudara”. Falsafah itu memiliki makna kita semua bersaudara.
Semboyan ini menekankan pentingnya rasa kasih sayang, empati, dan kerja sama dalam membina keharmonisan dan hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat.
Berbeda dari “Sitou Timou Tumou Tou”, “Torang Samua Basudara” pertama kali dipopulerkan oleh mantan Gubernur Sulawesi Utara periode 1995 s.d. 2000, E.E. Mangindaan.
Dipicu oleh konflik agama dan etnik yang pecah di Poso, Ambon, dan Ternate; Sulawesi Utara kemudian menjadi tempat pengungsian para korban konflik yang beragama Islam dan Kristen.
Toleransi beragama antarsuku di Sulawesi Utara memang telah mengakar sejak zaman penjajahan. Semboyan “Torang Samua Basudara” kini semakin kokoh dijadikan landasan hidup masyarakat Sulawesi Utara.