Mohon tunggu...
Adhi Nugroho
Adhi Nugroho Mohon Tunggu... Penulis - Blogger | Author | Analyst

Kuli otak yang bertekad jadi penulis dan pengusaha | IG : @nodi_harahap | Twitter : @nodiharahap http://www.nodiharahap.com/

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Belajar Toleransi dari Bumi Nyiur Melambai

31 Maret 2024   21:10 Diperbarui: 31 Maret 2024   21:26 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perbedaan agama tidak menghambat cita-cita bersama. Sumber: dokumentasi pribadi.

Ramadan selalu melahirkan banyak cerita unik. Salah satu kisah yang selalu menarik untuk diceritakan adalah soal toleransi antarumat beragama selama berpuasa.

Tantangan bagi umat muslim yang berpuasa di tengah mayoritas warga beragama Islam boleh dibilang minim perkara. Biasa-biasa saja. Akan tetapi, boleh jadi tidak bagi mereka yang berpuasa di tengah mayoritas masyarakat beragama non-muslim.

Selain karena tuntunan syariatnya berbeda, yang paling mungkin menuai tantangan bagi umat muslim adalah melihat orang lain makan dan minum di siang hari. Atau mesti ikhlas kesulitan mencari kudapan halal untuk sahur dan berbuka.

Kendati terasa sulit, bagaimanapun, puasa mesti tetap dijalani. Puasa merupakan ibadah wajib bagi seluruh umat muslim. Pahalanya juga tidak tanggung-tanggung. Jika dikerjakan dengan niat yang benar, puasa di bulan Ramadan bisa melahirkan ampunan dari Tuhan Yang Mahakuasa.

Meksipun ibadah puasa di Indonesia seakan telah menjadi budaya bangsa, tetapi di beberapa daerah yang masyarakatnya beragama non-muslim, Ramadan tidak ubahnya seperti bulan-bulan biasa.


Tidak ada pasar takjil khusus yang menjajakan menu berbuka. Tiada pula budaya berbuka puasa bersama dengan teman atau kolega. Lantunan azan magrib oleh muazin dari masjid sebagai penanda waktu berbuka juga seringkali hanya terdengar sayup-sayup.

Saya pernah berada di posisi ini. Tepatnya saat bertugas di Manado, Sulawesi Utara, sepuluh tahun silam.

Di sana, saya mesti menunaikan ibadah puasa di tengah warga yang mayoritas memeluk agama Kristen. Bukan hanya sekali-dua kali, empat edisi Ramadan saya lewatkan di Bumi Nyiur Melambai.

Pertanyaannya, apakah saya merasa kesulitan?

Di luar dugaan, jawabannya tidak. Sebab warga Manado dikenal memiliki toleransi umat beragama yang tinggi. Termasuk bagi kaum pendatang beragama muslim seperti saya yang kebetulan tengah mengais rezeki di Manado.

Anggapan saya tadi memang bukan omong kosong belaka. Setara Institute menempatkan Manado sebagai kota paling toleran nomor empat se-Indonesia pada tahun 2023. Di Manado, agama bukanlah hambatan untuk bersatu-padu.

Sitou Timou Tumou Tou

Jika saya boleh menduga, tingginya toleransi antarumat beragama di Manado berakar dari filosofi yang dipopulerkan pahlawan nasional Sam Ratulangi. Filosofi itu dikenal dengan sebutan “Sitou Timou Tumou Tou”.

Semboyan itu memiliki makna “manusia hidup untuk memanusiakan manusia lain”. Prinsip hidup inilah yang saya rasakan telah membudaya dan mengakar kuat di tengah-tengah warga Manado.

Falsafah ini memuat rasa solidaritas di antara seluruh makhluk Tuhan. Oleh karenanya, orang Manado beranggapan pengembangan suatu bangsa harus didasari pada rasa kasih sayang terhadap sesama.

Hal itu akan membuat sikap saling menumbuhkan. Juga memberi peluang mewujudkan diri sesuai agama dan kepercayaan masing-masing tanpa adanya dominasi dan diskriminasi dari pihak lain.

Sitou Timou Tumou Tou, falsafah hidup yang melandasi kerukunan antarumat beragama di Sulawesi Utara. Sumber: dokumentasi pribadi.
Sitou Timou Tumou Tou, falsafah hidup yang melandasi kerukunan antarumat beragama di Sulawesi Utara. Sumber: dokumentasi pribadi.

Prinsip hidup itulah yang benar-benar saya rasakan dari warga Manado yang berinteraksi dengan saya. Pernah suatu ketika di bulan puasa saya bekerja hingga larut sore. Ada pekerjaan yang tidak bisa saya tunda dan harus selesai pada hari itu juga.

Alhasil, saya lupa waktu berbuka. Jangankan beli takjil atau kudapan, ambil air putih dari dispenser di ujung ruangan untuk membatalkan puasa saja sampai tidak ingat.

Tiba-tiba, seorang kolega mendekati meja kerja saya. Melihat tindak-tanduk saya yang sudah lewat magrib tapi masih sibuk bekerja, ia pun menyapa saya dengan penuh rasa penasaran.

Ngana, nyandak babuka?

Pertanyaan itu ia lontarkan ke hadapan saya seraya menyodori segelas jus semangka. Kontan saya kaget luar biasa. Ia yang beragama Kristen sampai rela membelikan minuman manis untuk saya berbuka puasa.

“Astaga, kita sampai lupa. Makasih, neh!” ucap saya berterima kasih.

Di lain kesempatan, bukan hanya waktu berbuka yang diingatkan. Teman saya yang lain juga sering mengingatkan waktu salat di berbagai kesempatan. Terutama waktu salat Jumat.

Itulah secuil keindahan toleransi antarumat beragama di Manado yang pernah saya rasakan.

Torang Samua Basudara

Kehidupan rukun dan damai tanpa memandang agama yang terasa begitu kental di Manado sejatinya juga dipengaruhi falsafah “Torang Samua Basudara”. Falsafah itu memiliki makna kita semua bersaudara.

Semboyan ini menekankan pentingnya rasa kasih sayang, empati, dan kerja sama dalam membina keharmonisan dan hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat.

Berbeda dari “Sitou Timou Tumou Tou”, “Torang Samua Basudara” pertama kali dipopulerkan oleh mantan Gubernur Sulawesi Utara periode 1995 s.d. 2000, E.E. Mangindaan.

Dipicu oleh konflik agama dan etnik yang pecah di Poso, Ambon, dan Ternate; Sulawesi Utara kemudian menjadi tempat pengungsian para korban konflik yang beragama Islam dan Kristen.

Bersama kolega di Manado, hidup rukun dan damai. Sumber: dokumentasi pribadi.
Bersama kolega di Manado, hidup rukun dan damai. Sumber: dokumentasi pribadi.

Toleransi beragama antarsuku di Sulawesi Utara memang telah mengakar sejak zaman penjajahan. Semboyan “Torang Samua Basudara” kini semakin kokoh dijadikan landasan hidup masyarakat Sulawesi Utara.

Toleransi ini saya rasakan dan lihat dengan mata kepala sendiri. Masjid dan gereja dengan lokasi berdekatan menjadi pemandangan umum di Manado. Mereka tidak saling mengganggu saat beribadah atau menggunakan pengeras suara.

Hari raya dua agama juga berjalan dengan penuh kehangatan. Saat Idulfitri, pemuda gereja seringkali mengamankan lokasi ibadah salat Ied dengan penuh tanggung jawab.

Begitu juga sebaliknya. Saat Natal tiba, pemuda muslim bergantian menjaga keamanan di sekitaran gereja agar umat Kristen bisa beribadah dengan tenang dan nyaman.

Saat Lebaran tiba, tidak jarang umat Kristen menyiapkan kue di rumahnya untuk menghormati warga beragama Islam yang kebetulan datang bertandang. Ucapan selamat hari raya datang dari mereka yang tidak memiliki keyakinan yang sama.

Selama lebih dari tiga tahun bertugas di Manado, saya tidak pernah terdengar berita konfilik antarumat beragama. Semuanya hidup damai dan rukun tanpa memandang status agama. Kita bisa berkawan dan bersaudara dengan siapa saja.

Berkawan tanpa memandang status agama. Sumber: dokumentasi pribadi.
Berkawan tanpa memandang status agama. Sumber: dokumentasi pribadi.

Menurut saya, itulah esensi kehidupan bermasyarakat di Indonesia yang ideal. Berbagai suku dan budaya tidak semestinya membuat kita terpecah belah. Justru sebaliknya, perbedaan itu perlu disyukuri dan menjadi perekat di antara warganya.

Kalau kamu bagaimana? Pernah ke Manado juga? Tulis pengalamannya di kolom komentar, ya! [Adhi]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun