Mohon tunggu...
Nocturnal in Jakarta
Nocturnal in Jakarta Mohon Tunggu... Freelancer - Putting words together | NC

Full time star gazer, part time street fighter

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebenarnya Aku...

14 Desember 2022   23:32 Diperbarui: 15 Desember 2022   00:06 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Kali ini, aku menatap kamu dan Risca bergantian. Bertanya apakah kalian sedang bermain peran. Apakah ini semacam prank dan percakapan kita sedang disadap untuk melihat bagaimana responku akan pujian tiba-tiba ini? Apakah kalian bertaruh bahwa aku akan tersipu dan merasa pantas untuk menjadi bagian dari kalian? Lalu saat aku merasa demikian, kalian akan menertawakan dan kembali menamparku dengan realita bahwa kita tak pernah bisa berteman?


Tentu aku tak akan biarkan itu terjadi. Jadi, alih-alih mengikuti hati kecilku untuk berbahagia atas ucapan tersebut, aku menekan senyum yang nyaris menyembang dan berkata "Terima kasih." Oh, tentu aku harus mengucapkan terima kasih. Selain kikuk dan membosankan, aku tak ingin menambahkan label "Karina si attitude nol" dalam daftar julukan yang melekat kepadaku.


Melihat kamu dan Risca masih betah membicarakan persiapan pagelaran tahun ini membuatku tak nyaman. Aku taku kamu dan Risca bertahan di sini karena terpaksa dan tidak enak untuk beranjak pergi. Atau bertahan karena taruhan menyebalkan itu. Namun aku tetap berusaha mengikuti percakapan. Memberi masukan pohon itu baiknya di sana atau meja itu diganti dengan warna cokelat untuk perlengkapan properti pagelaran nanti. Yah, hanya menyampaikan meski tau tak akan berarti banyak.


"Benar kan tebakanku tentang Karina." Kamu berseru sembari menaikkan alis. Ada apa ini. Tebakan apa yang kamu maksud? Apa aku sudah masuk dalam jebakan kalian? Jebakan taruhan tentang aku yang akan mudah merasa diterima kamu, Risca, dan yang lainnya? Aku diam tak bergeming. Memandang kamu dan Risca bergantian. Apa ini saatnya? Orang-orang akan mulai datang menghampiri dan menertawakan aku yang sudah berani berbincang dengan seorang Lea? Aku terperanjat dan mulai memperhatikan sekitar. Masih belum ada yang berubah. Mungkin belum saatnya. Jadilah aku hanya diam, menunggu kelanjutan dari ucapanmu.


"Dia tuh kelihatannya aja yang jutek. Kalo diajak ngobrol pasti seru. Liat kita udah dapat berapa ide dari obrolan yang enggak sampai sejam barusan. Kita harus sering-sering nongkrong bareng Karina tau. Tapi ya kalo Karina nya mau. Sibuk banget pasti Karina. Ngurusin pagelaran, nulis konten buat media sosialnya, belum lagi urusan per-novel-an dia. Rin jangan bosen-bosen ya kita ajakin ngobrol. Jarang-jarang punya kesempatan buat ngobrol kaya gini sama kamu. Momen berharga ini." Lanjutmu.


Sontak aku membelalak. Kamu, seorang Lea Adhiaksa, menganggap obrolan barusan adalah momen berharga? Jangan bercanda. Itu cuma lips service kan. Padahal kamu sudah menunggu waktu yang tepat untuk segera beranjak.


Tepat saat aku akan menyanggah, Risca ikut bersuara. "Iya betul, sejak Karina nulis naskah teater tahun lalu pengen banget nongkrong bareng. Ngobrol gitu yang berfaedah. Biar aku ketularan pinter nulisnya. Cuman ya gitu. Takut banget mulai obrolan sama kamu. Takut ganggu gitu, karena kamunya sibuk jadi ngerasa ngumpul bareng kita malah buang-buang waktu. Jadi ya kalo ada kesempatan kaya sekarang, bakal kita manfaatin habis-habisan deh. Thank you ya Karina enggak ngusir kita karena ganggu." Risca tersenyum menatapku. Diikut oleh kamu yang juga tersenyum. Ada sesuatu dari tatapan kalian yang membuatku tak habis pikir. Akting-mu dan Risca barusan terlihat terlalu nyata sampai aku hampir lupa kalau ini hanya pura-pura. Memikirkannya membuatku kesal. Kalau ini memang sekedar untuk taruhan yang entah apa tujuannya, sepertinya kamu dan Risca sudah kelewatan. Ini enggak lucu. Apapun itu yang sedang kalian mainkan, sebaiknya berhenti.


"Maksud kamu sama Risca ngomong ini apa? Kalian lagi kenapa tiba-tiba ajak ngobrol dan bilang takut ganggu? Bukannya kamu dan teman-temanmu yang selalu sibuk karena jadi aktivis kampus? Memangnya aku keliatan gak suka diajak ngobrol? Gak ada yang mau ajak ngobrol aku karena aku engga menyenangkan. Bukan sebaliknya. Iya kan itu yang orang-orang liat tentang aku." Akhirnya aku menumpahkan apa yang kurasakan. Bagaimana tidak. Aku dituduh melakukan yang sebaliknya padahal selama ini kamu dan yang lainnya yang tidak ingin berurusan denganku.


Kalian berdua sontak menatapku dengan raut kebingungan. Sepersekian detik sebelum berhasil mengendalikan raut wajah kamu kembali membuka suara "Wah, sepertinya yang salah paham bukan hanya aku dan Risca saja ya." Ungkapmu sambil tersenyum. "Aku, Risca, dan yang lainnya sering mengamati kamu dari jauh. Ingin mendekat dan mengajak bicara tapi takut mengganggu. Tanpa kamu sadari, setiap kamu masuk ke dalam ruangan, entah bagaimana orang-orang serentak memperhatikan kamu. Penasaran ingin kenal lebih dekat. Tapi sama seperti aku dan Risca, kami hanya berani tersenyum dan menyapa ringan. Karena setiap kali hadir di acara seperti ini, kamu lebih sering duduk di sudut ruangan dan fokus mengerjakan apapun yang ada di layar tabletmu. Aku sering berfikir bahwa kamu pasti sangat berdedikasi ya. Dimanapun selalu kerja, kerja, kerja. Bahkan saat ada acara pun masih tetap bekerja." Tambahmu  sambil tertawa malu.


Sampai pada tahapan ini, aku mulai sadar permasalahan apa yang sebenarnya kuhadapi. Ini bukan tentang taruhan atau omong kosong lainnya yang sudah aku ciptakan. Tapi ini tentang aku yang terlalu sibuk dengan skenario yang ada di benakku. Aku berlakon dengan diriku sendiri. Terlalu takut dengan penolakan hingga takut membuka diri. Aku ketakutan saat berusaha menjalin pertemanan tapi malah ditinggalkan. Aku tenggelam dalam keyakinan dan kenyataan semu yang kuciptakan sendiri.


Aku takut dengan diriku sendiri namun lantas memproyeksikannya kepada orang lain. Kepada kamu, Risca, dan teman-teman lainnya. Menyalahkan orang lain atas kesalahan pikiranku  sendiri. Di detik ini aku merasa ditampar. Bukan dengan fakta bahwa aku tak disukai orang lain. Namun fakta bahwa aku yang membangun tembok tak kasat mata itu. Akulah yang sebenarnya mengisolasi diriku sendiri dari dunia ini. Aku yang menyerah sebelum benar-benar memulai. Bukankah ini ironi yang menyedihkan, bahwa sebenarnya aku yang menciptakan kekacauan ini. Aku dan pikiranku serta kerendahan diri yang sudah berakar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun