Gegara Homonim
"Ma, saiki Ayah Priadi kerja ndhik molen!" lapor keponakanku, yang juga mantan muridku, dengan semangat.
"Wah, syukurlah! Sekarang yang penting jangan sampai nganggur. Aku aja kemarin lihat di Reel Instagram, pengepul minyak jelantah bisa untung jutaan, loh!" sahutku.
"Iya, Ma. Tergantung orangnya juga, sih. Kalau niat, pasti bisa jalan!"
"Betul! Ada kemauan, ada jalan!"
Aku sempat melaporkan kepada suami bahwa ayah keponakannya itu sekarang sudah sukses bekerja. Lalu, selang beberapa hari kemudian, suamiku tiba-tiba nyeletuk sambil ngopi di teras.
"Ma, coba tanyain ke Mariska, berapa modal awal kalau mau bikin molen?"
Aku menoleh, heran. "Lho, bukannya Papa yang sering beli molen? Kenapa aku yang harus nanya?"
"Ya, biar enggak canggung, toh. Kalau aku nanya ke pedagang langganan, kan enggak enak. Takut dikira mau saingan. Lagian, mana mungkin dia ngomong jujur di tengah rame-rame gitu?"
Aku terkekeh. "Iya juga, ya. Orang Jawa tuh masih punya adab malu. Tapi, malu bertanya, sesat di jalan, lho!"
"Lah, kan bisa tanya Mbah Google," sahutnya sambil terkikik.
"Oh, maksudnya GPS? Google Positioning System?"