Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, Asrar Atma, dll. Buku solo 31 judul, antologi berbagai genre 193 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sesuci Cinta, Seindah Asa sang Bunda

26 September 2025   14:07 Diperbarui: 26 September 2025   13:18 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sesuci Cinta, Seindah Asa sang Bunda


Air mataku kembali jatuh, membasahi pipi yang semakin lelah menahan tangis. Di depanku, tubuh mungil bayiku terlelap, seolah tak tahu betapa kerasnya dunia ini. Sesekali kuusap wajahnya yang pucat, lalu kuelus lembut dadanya yang naik turun dengan napas pendek-pendek.

Dalam hati aku berteriak: "Ya Allah, andai aku boleh memilih, aku ingin anakku lahir sehat, besar, dan sempurna seperti bayi lainnya."

Namun, Tuhan menitipkan amanah berbeda. Bayi kecil ini terlahir terlalu mungil untuk usianya, ringkih, dan berkali-kali harus kembali ke rumah sakit. Jarum suntik telah menjadi sahabat tubuh mungilnya. Hingga pada suatu hari, vonis dokter terdengar seperti petir menyambar di siang bolong: jantungnya bocor. Langitku seketika runtuh. Belum sempat kucerna kenyataan itu, hasil pemeriksaan berikutnya menambah luka: bayi ini juga divonis down syndrome.
Hatiku remuk. Pertanyaan-pertanyaan menyerbu tanpa ampun. Benarkah secepat itu dokter bisa menilai? Mengapa aku? Ujian apalagi yang harus kutanggung?

Namaku Allegra. Konon artinya ceria dan bersemangat. Namun, perjalanan nasib membuatku tak bisa seceria dan sesemangat harapan orang tua sang pemberi nama.

Aku bukan siapa-siapa, hanya perempuan sederhana tanpa banyak ilmu. Aku tidak paham tanda-tanda medis, tetapi aku hanya tahu menerima. Bersama suamiku, hidup kami pas-pasan. Demi sesuap nasi, kami berjualan makanan kecil di depan sekolah. Dan kini, ditambah kewajiban bolak-balik rumah sakit setiap minggu, hidup kami makin terasa berat.

Kehamilan anak keempat ini pun penuh keajaiban. Selama berbulan-bulan aku tak sadar sedang mengandung. Baru ketika usia kandungan empat bulan, aku menyadarinya. Usia sudah kepala empat, jarak dengan anak ketiga pun dua belas tahun. Aku tak pernah menyangka akan diberi titipan lagi.

Dari keempat anakku, dua anak lelaki yang paling spesial adalah Nandikara, si anak kedua, dan Nirankara si bungsu ini. Keduanya lahir dengan tubuh yang sangat kecil. Nirankara bahkan hanya seberat 900 gram ketika lahir. Bayi sekecil botol kecap itu sempat dirawat di inkubator. Orang-orang yakin ia tak akan bertahan, tetapi Allah berkehendak lain: Nirankara hidup, meski perkembangan kecerdasannya tertinggal dari anak-anak seusianya.

Seperti nama yang kusematkan pada anak kedua, Nandikara, yang berarti pembawa kebahagiaan; aku berharap ia bisa membahagiakan keluarga kami. Sementara, Nirankara, nama si bungsu ini artinya keajaiban Tuhan. Aku pun berharap ada keajaiban Tuhan lewat hidupnya.

Bukan hanya ujian medis yang kuhadapi. Kata-kata manusia yang tak tertata seringkali lebih menyakitkan.

"Allegra, kamu ini dosa apa, sih? Anakmu kok cacat semua?!" ejek Sumina, tetanggaku.

"Kalau punya malu, harusnya anakmu itu dibuang aja!" tambahnya tanpa iba.

Aku hanya diam, melangkah pergi sambil menahan perih di dada. Sakitnya menusuk lebih dalam daripada jarum suntik yang berkali-kali menembus kulit bayiku.

Syukurlah, ibuku selalu ada di sisiku.

"Sudahlah, Nak. Jangan dengarkan mereka. Anakmu itu titipan Allah, yang memberi hidup juga Dia. Biarlah orang berkata apa, yang penting kita jaga amanah-Nya."

Ibu merawat Nirankara dengan penuh cinta. Bayi mungil yang rapuh itu diperlakukan bagai permata: tubuhnya dihangatkan dengan botol berisi air panas, kulitnya dilumuri minyak kelapa asli karena aku tak berani memandikannya. Dengan kasih sayang yang tak pernah putus, Nirankara tumbuh perlahan. Sungguh, ia adalah keajaiban.

Hari-hari terasa panjang, tetapi sekaligus indah. Setiap detak napas Nirankara adalah doa, setiap senyumnya adalah penawar luka.

Kini Nirankara berusia empat belas tahun. Tubuhnya memang tinggi, tetapi kecerdasannya tertinggal jauh. Ia mudah dimanfaatkan oleh teman-temannya. Pernah ia dituduh mencuri burung merpati, bahkan dikabarkan masuk ke rumah orang lewat tiang listrik.

Aku malu sekaligus marah. Tanganku refleks menampar pipinya.

"Kurang apa Ibu sama kamu, Nirankara! Kenapa kamu harus memalukan Ibu begini?"

Nirankara menangis tersedu. "Ampun Bu... itu bukan aku, uangnya sama Fiki. Aku cuma ikut-ikutan ...."

Air mataku menetes. Anak ini polos, terlalu polos. Ia tak paham benar-salah sepenuhnya. Di sekolah pun, ia selalu tertinggal. Di sekolah negeri maupun swasta, tak ada yang cocok. Akhirnya dengan berat hati aku menyetop sekolahnya. Aku mencoba mendidik sendiri di rumah, tetapi justru itu membuatnya makin tak terarah. Ia sering ikut anak-anak jalanan yang mengamen dan tawuran. Rasanya aku kalah dan ingin menyerah saja sebagai ibu.

Sampai akhirnya aku membuat keputusan pahit: Nirankara harus tinggal jauh dari lingkungan lamanya. Pertama, ia kubawa ke rumah neneknya di Jawa Tengah. Aku berharap suasana desa bisa menjernihkan hatinya. Namun, hanya dua bulan ia bertahan. Tanpa izin, ia nekat kembali ke rumah. Pupus lagi harapanku.

Hingga suatu hari, keluarga suamiku dari Padang datang. Pak Wo, kakak suami, menawarkan diri.

"Nirankara, ikut Pak Wo ke Padang, ya. Nanti kamu bantu menebang pohon, bikin gula merah. Seru lho!"

Mata Nirankara berbinar. Ia memang suka petualangan. Dengan berat hati aku melepasnya. Tangisku tak henti. Namun, di sela doa, aku berbisik: "Ya Allah, jika ini yang terbaik, mudahkanlah jalannya. Jadikan anakku kuat, sehat, dan kelak sukses."

Hari-hari penuh rindu kulewati. Telepon menjadi pengobat sepi. Suatu kali Nirankara menelepon sambil tersenyum lewat video call.

"Ibu jangan khawatir. Niran di sini betah. Maafin Niran ya, Bu. Selama ini nyusahin Ibu. Niran janji mau jadi anak baik."

Tangisku pecah. "Ibu sayang kamu, Nirankara ...."

Di Padang, ia mulai belajar mengenal arti tanggung jawab. Setiap pagi ia membantu menyadap nira dari pohon aren, menimba air manis yang kemudian direbus menjadi gula merah. Tangannya yang dulu hanya tahu bermain kini menghitam oleh bara api tungku. 

Peluhnya membasahi tubuh, tetapi matanya berbinar setiap kali memamerkan hasil kerjanya lewat video call. Di balik kesederhanaan itu, aku melihat sebuah perubahan: anakku belajar menjadi laki-laki sejati.

Setahun kemudian, Nirankara pulang dengan wajah lebih dewasa. Senyumnya lebih tenang, sikapnya lebih sopan. Aku memeluknya erat. Kini aku percaya, rencana Tuhan selalu lebih indah dari rencana manusia. Seperti nama yang kusematkan pada si kakak kedua dan adik bungsunya: Nandikara dan Nirankara. Keduanya menjadi pembawa kebahagiaan dan mujizat luar biasa.

Ternyata, kini kedua anak lelaki spesialku itu diterima sebagai pramusaji di sebuah gerai, kafe, sekaligus restoran yang mempekerjakan para pemuda dengan kondisi down syndrome. Mereka berdua berdiri gagah dengan seragam kerja, menyambut tamu dengan senyum tulus yang tak pernah luntur.

Memiliki keterbatasan kondisi fisik, tetapi Allah tetap memberinya lahan mencari nafkah secara halal dan terhormat. Di balik setiap piring yang mereka hidangkan, ada doa, ada perjuangan, dan ada cinta yang tak pernah putus dari seorang ibu.

Benar yang orang bilang bahwa cinta seorang ibu adalah cinta yang tak bersyarat. Meski penuh luka, meski dicaci, dan meski lelah tanpa batas, cinta itu tetap suci. Dan di setiap doa, aku selalu yakin: di balik ujian ini, tersimpan hikmah yang tak ternilai.

*** 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun