"Kalau punya malu, harusnya anakmu itu dibuang aja!" tambahnya tanpa iba.
Aku hanya diam, melangkah pergi sambil menahan perih di dada. Sakitnya menusuk lebih dalam daripada jarum suntik yang berkali-kali menembus kulit bayiku.
Syukurlah, ibuku selalu ada di sisiku.
"Sudahlah, Nak. Jangan dengarkan mereka. Anakmu itu titipan Allah, yang memberi hidup juga Dia. Biarlah orang berkata apa, yang penting kita jaga amanah-Nya."
Ibu merawat Nirankara dengan penuh cinta. Bayi mungil yang rapuh itu diperlakukan bagai permata: tubuhnya dihangatkan dengan botol berisi air panas, kulitnya dilumuri minyak kelapa asli karena aku tak berani memandikannya. Dengan kasih sayang yang tak pernah putus, Nirankara tumbuh perlahan. Sungguh, ia adalah keajaiban.
Hari-hari terasa panjang, tetapi sekaligus indah. Setiap detak napas Nirankara adalah doa, setiap senyumnya adalah penawar luka.
Kini Nirankara berusia empat belas tahun. Tubuhnya memang tinggi, tetapi kecerdasannya tertinggal jauh. Ia mudah dimanfaatkan oleh teman-temannya. Pernah ia dituduh mencuri burung merpati, bahkan dikabarkan masuk ke rumah orang lewat tiang listrik.
Aku malu sekaligus marah. Tanganku refleks menampar pipinya.
"Kurang apa Ibu sama kamu, Nirankara! Kenapa kamu harus memalukan Ibu begini?"
Nirankara menangis tersedu. "Ampun Bu... itu bukan aku, uangnya sama Fiki. Aku cuma ikut-ikutan ...."
Air mataku menetes. Anak ini polos, terlalu polos. Ia tak paham benar-salah sepenuhnya. Di sekolah pun, ia selalu tertinggal. Di sekolah negeri maupun swasta, tak ada yang cocok. Akhirnya dengan berat hati aku menyetop sekolahnya. Aku mencoba mendidik sendiri di rumah, tetapi justru itu membuatnya makin tak terarah. Ia sering ikut anak-anak jalanan yang mengamen dan tawuran. Rasanya aku kalah dan ingin menyerah saja sebagai ibu.