Santi ragu-ragu, lalu kata Rey, "Sin ... ajak Mbak Santi masuk mobil!" tangannya menggamit lengan si istri.
Singkat kata mereka sampai di rumah Santi. Ketika Sinta pun keluar dari mobil, Bu Parjo tetangganya terheran-heran melihat mereka. Meskipun dua sosok wanita itu berpenampilan bagaikan bumi dan langit, Bu Parjo melihat bahwa keduanya bak pinang dibelah dua. Tetiba dia ingat peristiwa dua puluh tahun silam saat Pak Karim dan istrinya menangis meminta agar salah satu dari bayi kembarnya dicarikan orang tua asuh.
"Ya, ... Allah ... jangan-jangan mereka ...!" maka Bu Parjo pun berlari menuju ke rumah Santi.
Didekatinya Santi dan diperhatikannya Sinta. Bu Parjo melongo, sambil mengatakan, "Jangan-jangan kalian ini ...!" tetap diamat-amatinya keduanya tak berkedip.
"Ada apa, Bu?" tanya Rey juga ikut memperhatikan keduanya dengan takjub.
"Sebentar ... sebentar ... Mbak ini siapa?" tanyanya kepada Sinta.
Sinta pun menjawab, "Saya Sinta Mahadewi, Bu!"
"Nah... tak salah lagi dugaanku. Mbak, maaf, boleh tahu tanggal lahir Mbak kapan dan di mana? Lalu siapa nama orang tua Anda?" selidik Bu Parjo.
Sinta menyebutkan suatu tanggal bulan dan tahun. Santi pun terhenyak dan berteriak, "Loh, ... kok sama!"
"Nama orang tua Anda, Mbak Sinta? Dan tempat tinggal orang tua Anda di mana?" lanjut Bu Parjo.
"Ayah saya Pak Damhuri, Ibu saya Nina Lestari. Kami tinggal di Kediri. Ini suami ditugaskan di kota ini lalu kami mencari rumah kontrakan di desa sebelah tadi!" jawab Sinta.