"Mbak siapa?" tanya Sinta sekali lagi masih sambil curiga. Apalagi dilihat bayangan dirinya pada gadis itu.
"Saya Santi. Tadi saya melihat mobil ini jendelanya terbuka. Lalu, saya tunggui supaya tidak ada barang yang hilang. Tuh lihat, banyak barang yang bisa diambil dari luar jika jendelanya terbuka!"
"Ohh, ...!" Sinta tergagap.
"Nah, kan ... Sin ... Maka jangan asal tuduh!" nasihat pada istrinya. Lalu menoleh kepada Santi, Â "Sudah lama Mbak berdiri di sini?" tanya Rey dengan tenang.
"Hampir dua jam, Mas. Jika ini mobil kalian, baiklah saya akan segera pulang. Tetapi, benarkah ini mobil kalian?" tanya Santi.
"Iya, benar ... ini kuncinya!" jawab Rey sambil membuka pintu mobil.
"Oh, ya sudah. Saya permisi dulu! Saya lega tidak ada barang yang hilang!" jawab Santi. Â Â "Tidak sia-sia saya menjaganya!" lanjutnya.
"Ehh ... sebentar dulu!" kata Reynaldi, "Sin ..., minta maaflah kepada Mbak Santi karena kamu tadi sudah menuduhnya tidak baik!" kata Rey kepada istrinya. "Tetapi, ngomong-ngomong, mengapa Mbak mirip sekali dengan istri saya, ya!" lanjut Rey sambil melihat Santi.
"Iya, Mas. Saya Santi Mahadewi! Rumah saya sekitar lima kilometer di desa sebelah itu!" jawab Santi sambil menunjuk ke arah desanya.
Sinta pun tak kalah terkejut mendengar nama Santi Mahadewi, sementara namanya sendiri Sinta Mahadewi. "Ehhh, ... kok nama kita juga sama, ya!" teriaknya lantang sambil matanya membulat.
"Wah, begini saja. Karena tadi Mbak telah berbaik hati menunggu mobil kami hampir dua jam, bagaimana jika sekarang kami mengantarkan Mbak ke rumah Mbak! Anggap saja sebagai balas budi kami, Mbak! Lagian ini juga sudah siang. Panas lagi. Kalau jalan kaki kurang pas lagi cuacanya, kan?" tawar Rey sambil membuka pintu belakang mobil. "Mari silakan naik, Mbak!"