Mohon tunggu...
Nina Ummuza
Nina Ummuza Mohon Tunggu... Pegiat Literasi

Seorang pembelajar Islam, yang terus mengkaji Islam dari Akar hingga daun. Dari akidah, ibadah hingga Ekonomi sosial dan politik dalam sudut pandang Islam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kohabitasi, Konflik, Kekerasan : Warisan Sekulerisme yang Mengerikan

21 September 2025   07:35 Diperbarui: 21 September 2025   07:35 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kasus mutilasi seorang wanita muda di Mojokerto yang sempat menghebohkan publik, kembali membuka mata kita pada sisi kelam pergaulan bebas yang kian dinormalisasi di tengah masyarakat. Fakta yang mencengangkan, setelah ditemukan puluhan potongan tubuh korban, polisi berhasil menelusuri ratusan potongan bagian tubuh lain yang disimpan di kamar kos pelaku di Surabaya. Pelaku tak lain adalah pacar korban sendiri dengan tega menghabisi nyawanya hanya karena persoalan sepele yaitu kesal pintu kos tidak dibukakan dan tersulut masalah ekonomi.

Tragedi ini bukan sekadar kisah kriminal sadis, melainkan potret buram tren kohabitasi atau living together---quasi rumah tangga tanpa pernikahan---yang kian dianggap wajar oleh sebagian generasi muda.

Fenomena Kohabitasi: Normalisasi Gaya Hidup Bebas

Kini, tinggal bersama pasangan tanpa ikatan pernikahan semakin banyak dipilih anak muda. Alasan yang dilontarkan terdengar rasional, ingin mengenal pasangan lebih dekat sebelum menikah, atau sekadar alasan praktis seperti efisiensi biaya hidup. Namun, di balik argumen tersebut, kohabitasi sesungguhnya menyimpan potensi besar terhadap munculnya masalah serius, mulai dari konflik emosional, kekerasan, hingga tragedi maut seperti kasus di Mojokerto ini.

Psikolog Virginia Hanny bahkan menyebut ada tiga pertimbangan sebelum memutuskan kohabitasi: pertama, kesepakatan kedua belah pihak tanpa paksaan; kedua, kesiapan finansial dan lokasi tinggal; ketiga, tujuan serta batasan yang jelas. Namun, semua itu tetap berangkat dari sudut pandang sekuler yang meniadakan standar halal-haram dalam membina hubungan.

Sekularisme Sebagai Akar Masalah

Dalam sistem sekuler-liberal, agama dipisahkan dari kehidupan. Ukuran baik-buruk bukan lagi pada aturan Allah, melainkan sebatas kepuasan individu. Akibatnya, ketika cinta, marah, atau kecewa, seseorang merasa bebas menyalurkan emosi dengan cara apa pun---termasuk kekerasan.

Normalisasi kumpul kebo dan pacaran hanyalah buah dari sekularisme. Aktivitas yang jelas-jelas diharamkan oleh Islam justru ditoleransi, bahkan dianggap wajar. Negara pun tidak hadir untuk mencegah perzinahan, justru difasilitasi dengan rangkaian tayangan dan tontonan yang tidak menjadi tuntutan. Hukum hanya turun tangan jika sudah ada korban atau tindak pidana. Artinya, aktivitas pacaran, tinggal satu kos, atau hubungan intim di luar nikah tidak dianggap salah sepanjang tidak ada pihak yang melapor.

Inilah wajah kelam masyarakat sekuler, kebebasan individual yang didewakan, sementara aturan agama dianggap tak relevan. Memisahkan kehidupan dari agama yang menjadi pondasi asas sistem saat ini. Mengedepankan kebebasan bagi manusia. Yaitu bebas berperilaku, bebas berpendapat, bebas beragama dan kebebasan hak milik. Hal ini menjadi warisan yang mengerikan dan akan menghasilkan kekacauan di tengah umat manusia jika hanya dibiarkan. 

Islam : Syariat datang Mencegah dan Menjaga

Islam adalah agama yang sempurna dan penyempurna ajaran sebelumnya. Dengan jelas memberikan panduan untuk menjaga fitrah manusia sekaligus menghindari tragedi-tragedi serupa. Syariat datang untuk menjaga dan juga mencegah, sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

 

""Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk. Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui batas dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan." (QS. Al-Isra' 17: Ayat 32-33)

Peringatan yang Allah turunkan melalui syariat-Nya, jika kemaksiatan itu terjadi maka hukum yang diterapkan tegas dan bersifat jawabir serta jawazir. Hukuman bersifat penebus dosa bagi pelaku kejahatan, dan memberikan efek jera bagi siapapun yang menyaksikan esekusinya. Agar eksekusi ini berjalan maka butuh adanya regulasi dan kerja sama antara individu dan pelaksana hukum, selain mencegah juga menjaga manusia berbuat hal yang sama. Namun, hal itu tidak akan terjadi jika pilar pengokoh penerapan Islam saat ini belum tegak. Adapun tiga pilar yang harus ditegakkan:

1. Ketakwaan Individu

Individu muslim dibekali dengan pemahaman akidah yang kuat sehingga mampu mengendalikan diri. Ia akan sadar bahwa tujuan hidup adalah ibadah kepada Allah. Dari sinilah lahir ketundukan untuk menjauhi pacaran, zina, bahkan kekerasan, karena semuanya dilarang oleh syariat.

2. Kontrol Sosial

Masyarakat Islam memiliki kewajiban untuk amar ma'ruf nahi munkar, saling mengingatkan dalam kebaikan dan mencegah kemungkaran. Pergaulan bebas tidak boleh dibiarkan, tetapi harus dicegah dan dikoreksi agar tidak berkembang menjadi budaya merusak.

3. Peran Negara

Negara dalam sistem Islam berfungsi sebagai penjaga akhlak dan pelindung masyarakat. Melalui sistem pendidikan berbasis akidah Islam, negara menanamkan kepribadian islami pada rakyatnya. Negara juga menerapkan sistem pergaulan Islam yang menutup celah terjadinya perzinahan. Negara juga yang akan melakukan eksekusi hukuman bagi siapapun yang melakukan kemaksiatan atau kriminal. Sebagaimana membunuh warga negara yang haram darahnya untuk dibunuh. 

Islam pun akan memberikan solusi bagi pemenuhan gharizah An Na'u (naluri melestarikan keturunan) yaitu dengan jalan pernikahan yang sah. Dengan landasan keimanan makan akan melahirkan generasi yang bisa melanjutkan keturunan. Negara mampu memberikan fasilitas untuk memudahkan bagi pemuda-pemudi yang sudah cukup waktu untuk menikah.

 

Wallahu'alam...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun