"Kau tahu apa yang paling sunyi di dunia ini?Bukan malam. Bukan sepi. Namun, penyesalan yang datang setelah darah tumpah, dan kehidupan berakhir dalam jeruji besi. Aku tak pernah menyesali takdir yang menimpaku, tetapi hati ini tercabik saat perjuangan dihentikan tanpa hasil."
Suara teriakan terdengar bersahut-sahutan. Teriakan tentang harapan ribuan para pekerja kepada pemangku kebijakan. Jalan Gatot Subroto berubah menjadi lautan manusia. Bendera-bendera serikat berkibar di antara asap dupa dan debu yang beterbangan. Spanduk bertuliskan "Hidup Buruh!" dan "Hapus Sistem Kerja Paksa!" melambai di atas kepala ribuan orang yang berjalan dengan mata penuh tekad. Aku berdiri di atas mobil komando, melihat ribuan wajah penuh harap akan adanya sebuah perubahan. Matahari Jakarta terik menggigit kulit, tapi tidak satu pun dari kami bergeming.
Jalanan Jakarta berubah menjadi kerumunan massa. Jaket seragam serikat berkibar, spanduk tuntutan kami bentangkan tinggi-tinggi. Aku berdiri di atas mobil komando, memegang mikrofon dengan tangan yang berkeringat.
"Saudara-saudaraku!" teriakku, suara menggema lewat pengeras suara, "Kita sudah terlalu lama diam! Terlalu lama diperas dan diabaikan! Sudah saatnya kita menuntut perubahan. Kita juga ingin dimanusiakan oleh manusia lain. "
Sorak sorai membahana. Keringat dan semangat bercampur jadi satu dalam diriku. Aku tak tahu apakah yang kudengar itu suara teriakan yang semakin keras dan banyak teriakan atau hanya detak jantungku sendiri. Rasanya seperti mimpi yang akhirnya menjadi nyata.
"Kalau hari ini kita diam," lanjutku, "maka besok kita akan terus diperbudak!"
Aku masih berdiri di atas mobil komando, suara serak tapi semangat belum padam. Di kejauhan, kuamati barisan buruh yang masih bertahan meski sinar matahari menyengat dan napas mereka mulai berat karena kepulan asap dari knalpot truk dan udara Jakarta yang pengap. Sebagian duduk di aspal, sebagian berdiri sambil mengepalkan tangan, dan sebagian lagi terus meneriakkan yel-yel perjuangan. Suasana terkendali meski tegang. Kami tahu aparat berjaga tak jauh dari kami, membentuk pagar betis dengan tameng dan senjata lengkap.
Lalu, entah dari mana, muncul seorang pria asing. Jaketnya sama seperti kami, tapi aku tak pernah melihatnya dalam rapat-rapat serikat. Wajahnya tak kukenal, tapi geraknya mencurigakan---terlalu gelisah, terlalu mudah terpancing. Ia menyusup ke barisan depan, tepat di garis pemisah antara massa buruh dan aparat. Tangannya menggenggam sesuatu---plastik hitam yang disembunyikan di balik jaket.
Aku sempat curiga, tapi semuanya terjadi begitu cepat. Dalam sekejap, ia mengangkat botol berisi cairan, menyalakan sumbu, dan melemparkannya ke arah polisi. Molotov meledak kecil, api menjilat tameng mereka. Seruan panik langsung membahana.
"Ada penyusup!" teriakku, tapi suaraku tenggelam dalam hiruk pikuk.
Aparat tak menunggu aba-aba. Gas air mata ditembakkan membabi buta. Jeritan menggema, barisan pecah, orang-orang lari tunggang-langgang. Batu mulai dilempar balik. Kursi-kursi plastik yang semula dipakai duduk beterbangan. Sebuah bendera serikat robek di tengah kekacauan. Suasana berubah drastis dalam hitungan menit---dari semangat menjadi kepanikan, dari perjuangan menjadi medan bentrokan.
Aku tahu, kami dijebak. Ini bukan lagi soal tuntutan. Ini permainan besar. Dan kami adalah bidak yang mudah dikorbankan.
Aku masih berdiri di mobil komando, memegangi mikrofon, mencoba meredam, tapi suaraku kalah oleh kekacauan. Sebongkah batu singgah di pelipisku, megalirkan darah hingga menetes ke jaket.
"Kena peluru! Kena peluru!" teriak seseorang dari bawah mobil komando.
Seorang buruh jatuh bersimbah darah.Aku turun dan mendekat. Wajahnya pucat, matanya terbuka kosong. Aku mengenalnya, Ridwan, baru punya anak satu bulan lalu. Dunia seperti berhenti sesaat. Nafasku tercekat. Darah merembes cepat dari dada kirinya, membentuk genangan kecil di atas aspal yang panas.
Ridwan terbaring dengan mata terbuka separuh, napasnya pendek-pendek. Di tangannya masih tergenggam selebaran tuntutan, kini basah oleh darahnya sendiri. Aku berlutut di sampingnya, mencoba menekan lukanya dengan jaketku, tapi darah terus mengalir, terlalu deras, terlalu dalam. Bibirnya bergetar, menyebut nama anak dan istrinya, lalu diam.
"Provokator!" kata seorang polisi dengan nada tinggi. Dia mengangkat tubuhku yang sedang berlutut di samping Ridwan.
"Saya hanya menyuarakan hak kami," jawabku pelan. Aku meronta, melepaskan diri dari cengkraman polisi. Beberapa teman berusaha membantuku, tetapi mereka dipaksa menjauh dariku.
Tiba-tiba, dari balik kekacauan, sebongkah batu besar melesat seperti anak panah. Aku hanya sempat mendengar suara siurannya, lalu duk!
Rasa nyeri luar biasa menghantam pelipisku. Dunia berputar. Kakiku limbung, mikrofon terlepas dari tangan, pandanganku buram. Suara-suara mulai menjauh, gemuruh massa seakan menjauh, lenyap. Hitam. Semuanya hilang dalam gelap pekat yang dingin.
Aku baru sadar saat mencium bau disinfektan yang menusuk hidung. Langit-langit putih, suara monitor berdetik, dan selimut rumah sakit yang asing menyelimuti tubuhku. Mataku perlahan membuka, dan aku sadar: aku masih hidup, tapi tak tahu pasti apakah dunia di luar masih sama seperti saat aku terakhir berdiri di atas mobil komando.
Dan kini aku terkapar di rumah sakit ini. Aku bukan siapa-siapa. Hanya seorang buruh biasa yang tak ingin mati dalam diam. Mungkin perjuangan ini tak berarti banyak. Namun, jika suatu hari anakku mengetahuinya, aku ingin ia tahu bahwa ayahnya pernah melawan, bukan demi kekerasan, tapi demi keadilan yang layak untuk semua.
Mungkin aku hanyalah suara kecil yang akan dilupakan. Tapi yang membuatku masih bisa bernapas hingga hari ini adalah sebuah kenyataan yang tak pernah kubayangkan.
Setelah aku siuman, aku dipindahkan ke ruang tahanan rumah sakit. Tangan dan kaki diborgol ringan, dijaga dua petugas bersenjata. Aku disebut provokator. Semua media menuliskan namaku dengan embel-embel "biang rusuh aksi buruh berdarah". Tak ada yang peduli pada kebenaran yang kuteriakkan di atas mobil komando, tak ada yang menyelidiki siapa penyusup dengan molotov itu.
Hingga suatu malam, seorang pria tua datang diam-diam menjengukku. Ia mengenakan jas hitam dan wajahnya asing. Ia tak menyebutkan nama, hanya meletakkan secarik kertas kecil di tanganku.
"Aku dulu sepertimu, percaya bahwa idealisme akan menang. Namun, dunia ini tidak sesederhana membalikkan telapak tangan. Maafkan aku tidak bisa membantumu." Laki-laki itu kemudian pergi meninggalkan aku yang kebingungan.
Aku menatap punggungnya menjauh, lalu membuka kertas itu. Di dalamnya, hanya ada satu kalimat yang membuat darahku seakan berhenti mengalir:
"Ridwan bukan korban, ia penyusupnya. Ia yang merancang semua ini dan menjadikanmu kambing hitam.Kini dia berada di suatu tempat yang tak terjangkau"
Tanganku gemetar. Ingatanku berkelebat, matanya yang kosong, selebaran penuh darah di tangannya, kata-kata terakhirnya tentang anak dan istri. Tapi kini semua tampak seperti sandiwara. Mungkin darahnya bukan darahnya. Mungkin kematiannya pun hanya kebohongan. Mungkin... ia memang pemain sandiwara ulung dengan permainannya.
Seketika aku sadar: perjuangan kami bukan dihancurkan dari luar. Tapi dari dalam. Dari orang yang kuanggap sebagai sahabat dan satu idealisme. Entah ku tak tahu perjalanan takdirku kelak. Aku hanya bergantung pada takdir-Nya.
Cibadak, 1 Mei 2025
Kusembahkan cerpen ini untuk sahabat-sahabat pekerja di seluruh dunia. Selamat Hari Buruh Internasional. Semoga asa dan cita-cita
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI