Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Senang menulis, pembelajar.

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi. Penulis kumpulan cerpen "Asa Di Balik Duka Wanodya", ,Novel “Serpihan Atma”, Kumpulan puisi”Kulangitkan Asa dan Rasa, 30 buku antologi Bersama dengan berbagai genre di beberapa komunitas. Motto: Belajar dan Berkarya Sepanjang Masa tanpa Terbatas Usia. Fb Nina Sulistiati IG: nsulistiati

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerpen"Catatan Terakhir Seorang Demonstran"

1 Mei 2025   16:08 Diperbarui: 1 Mei 2025   19:50 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demo. Sumber: dokumen pribadi by Canva

Dan kini aku terkapar di rumah sakit ini. Aku bukan siapa-siapa. Hanya seorang buruh biasa yang tak ingin mati dalam diam. Mungkin perjuangan ini tak berarti banyak. Namun, jika suatu hari anakku mengetahuinya, aku ingin ia tahu bahwa ayahnya pernah melawan, bukan demi kekerasan, tapi demi keadilan yang layak untuk semua.

 Mungkin aku hanyalah suara kecil yang akan dilupakan. Tapi yang membuatku masih bisa bernapas hingga hari ini adalah sebuah kenyataan yang tak pernah kubayangkan.

Setelah aku siuman, aku dipindahkan ke ruang tahanan rumah sakit. Tangan dan kaki diborgol ringan, dijaga dua petugas bersenjata. Aku disebut provokator. Semua media menuliskan namaku dengan embel-embel "biang rusuh aksi buruh berdarah". Tak ada yang peduli pada kebenaran yang kuteriakkan di atas mobil komando, tak ada yang menyelidiki siapa penyusup dengan molotov itu.

Hingga suatu malam, seorang pria tua datang diam-diam menjengukku. Ia mengenakan jas hitam dan wajahnya asing. Ia tak menyebutkan nama, hanya meletakkan secarik kertas kecil di tanganku.

"Aku dulu sepertimu, percaya bahwa idealisme akan menang. Namun, dunia ini tidak sesederhana membalikkan telapak tangan. Maafkan aku tidak bisa membantumu." Laki-laki itu kemudian pergi meninggalkan aku yang kebingungan.

Aku menatap punggungnya menjauh, lalu membuka kertas itu. Di dalamnya, hanya ada satu kalimat yang membuat darahku seakan berhenti mengalir:

"Ridwan bukan korban, ia penyusupnya. Ia yang merancang semua ini dan menjadikanmu kambing hitam.Kini dia berada di suatu tempat yang tak terjangkau"

Tanganku gemetar. Ingatanku berkelebat, matanya yang kosong, selebaran penuh darah di tangannya, kata-kata terakhirnya tentang anak dan istri. Tapi kini semua tampak seperti sandiwara. Mungkin darahnya bukan darahnya. Mungkin kematiannya pun hanya kebohongan. Mungkin... ia memang pemain sandiwara ulung dengan permainannya.

Seketika aku sadar: perjuangan kami bukan dihancurkan dari luar. Tapi dari dalam. Dari orang yang kuanggap sebagai sahabat dan satu idealisme. Entah ku tak tahu perjalanan takdirku kelak. Aku hanya bergantung pada takdir-Nya.

Cibadak, 1 Mei 2025

Kusembahkan cerpen ini untuk sahabat-sahabat pekerja di seluruh dunia. Selamat Hari Buruh Internasional. Semoga asa dan cita-cita

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun